Deislamisasi Sejarah Indonesia.
Begitu temanya.
Mega dan Irwan duduk paling pinggir
untuk menghindari pusat perhatian. Mesin pendingin udara seukuran kulkas tepat
berada di samping mereka, sengaja diatur sampai 16 derajat celcius.
“Dingin!”
suara gemetar terdengar di belakang mereka, seseorang sedang memeluk
tubuhnya sendiri dengan lengan bersilang.
Mega refleks memencet tombol ke atas untuk
menaikkan suhu.
“Makasih!” ujarnya kepada
Mega dengan logat melayu sambas yang kental.
Mega mengangguk dan melebarkan
pandangannya ke seluruh peserta.
“Pasti ada mereka kan? HMI, KAMMI,
HTI?” tanya Irwan dengan pandangan tetap lurus ke depan.
“Aku kira lebih dari itu, ada KMK!”
ucap Mega tidak percaya
Apa yang mereka lakukan di sini!
Irwan mulai mengepalkan tangan,
turut merasakah aliran adrenalin yang tiba-tiba mengalir ke setiap pembuluh
darahnya.
Ini akan menjadi perang urat saraf!
Lampu amphitiater mulai dimatikan. hanya
menyisakan penerangan di arena podium. Seseorang menaiki mimbar dan mulai
membacakan susunan acara.
***
(1
jam sebelum seminar)
“Kenapa kau tidak bilang padaku ada
seminar semacam itu?”
“Aku kira posternya sudah terpajang
di setiap mading kampus, pak!” jawab Dina seadanya.
“Lalu apa tugasmu sebagai asisten!”
“Tenanglah, Ndre!” kata Mr. Dimas.
“Aku sudah meminta perwakilan KMK hadir.”
“Apa kau sudah yakin mereka punya
wawasan yang cukup?”
“Sayangnya kau sendiri yang akan
memastikannya kali ini. Kau akan duduk di sana sekaligus memberikan kata
sambutan.”
“Aku?” jawab Andre terkejut.
“Bukankah kau yang lebih dia kenal?”
“Aku tidak ingin membuat jantungnya
bermasalah. Lagipula dua mahasiswaku perlu mendapat pelajaran hari ini.”
***
Dosen dan professor yang hadir telah
memenuhi kursi depan dan beruntung tidak ada yang mempertanyakan kehadiran dua
bocah itu.
“Acara selanjutnya adalah kata
sambutan dari Professor Andre Wijaya. Kepada Professor kami persilahkan,” MC
kembali mempersilahkan.
“Saya ucapkan selamat datang kepada
dosen saya, sewaktu masih kuliah di UNPAD. Dosen luar biasa, Professor Ahmad
Mansur Suryanegara.” kata Andre setelah menyampaikan salam pembuka.
“Sewaktu kami masih menjadi
mahasiswa yang ‘naïve’, seringkali menjuluki beliau sebagai the living homo
sapiens,” Andre terdiam sejenak membiarkan audience tertawa.
“Homo sapiens…,” kata Andre dengan
suara lantang. “Saya lebih senang membahas sejarah nenek moyang manusia mulai
dari sini. Walaupun tergolong purba, tapi sudah jelas manusia, terlebih memiliki
pikiran cerdas dan bijaksana. Mampu menghasilkan begitu banyak benda-benda
kebudayaan. Menciptakan Peradaban. Menghasilkan karya.”
Andre melanjutkan, “makin ke sini,
saya menyadari bahwa julukan itu lebih menyindir kepada kita semua, lantas
siapa kita dalam posisi evolusi? Apakah cukup hanya dengan menggunakan gadget,
kita dijuluki sebagai manusia modern, keturunan homo sapiens?”
Andre berhasil menguasai panggung.
Menghipnotis penonton.
“Terlepas dari ciri fisik teori evolusi
Darwin, jika hanya melihat dari kemampuan berpikir seorang makhluk…,” Andre
memberi penekanan. “Ada dimana kita dalam posisi ini? Homo sapiens kah?” Andre
kembali bertanya dengan nada muram.
Mega merinding mendengar pertanyaan
yang bertubi-tubi itu.
Martabat kemanusiaannya sedang
diuji.
Andre tersenyum getir menyaksikan
kebingungan yang terpasang di wajah generasi muda di depannya.
“Maaf sudah membawa kaliah terlalu jauh
ke jutaan tahun belakang.”
“Nenek moyang kita,” jelas Andre.
”Merekalah yang berhasil memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.”
“Untuk menghargai anugerah paling
besar dalam diri manusia,” kata Andre sambil menunjuk ke arah kepala.
“Professor Ahmad Mansur Suryanegara akan mengajak kalian untuk berpikir dan
merenung sejak abad 14,” tutup Andre diakhiri dengan salam.
Tepuk tangan bergemuruh menyertai
langkahnya menuruni podium.
“Kita perlu dosen seperti ini di
kelas Filsafat, Meg!” Andre yang semula tidak antusias kini begitu bersemangat.
Mega mengakui kecerdasan Professor
itu namun dia masih terganggu dengan isu yang mengabarkan Professor Andre
adalah seorang liberal.
***
Professor Mansur sudah duduk di atas
sofa yang disiapkan di podium. Di depannya sudah tersaji dua buku hasil
karyanya, yang satu memiliki cover berwarna hitam, Api Sejarah Jilid I dan
satunya lagi berwarna merah, Api Sejarah Jilid II.
Dia mengenakan jam tangan kulit di
pergelangan sebelah kanan, serta sebuah syall bergradasi merah dan putih
menggantung di lehernya. Penampilannya sangat bersahaja. Di usianya yang lebih
tua dari negara Indonesia. 74 tahun. Dia masih semangat memberikan ceramah
tentang sejarah Indonesia.
Dia tampil tanpa nada retorika,
ritmenya seolah sama seperti ailran air yang mengalir di sungai yang tenang.
“Ada beberapa pertanyaan sejarah yang
sering muncul di bangku sekolah. Kitapun lebih mudah menjawabnya daripada
pertanyaan seputar siapa dan tahun berapa. Pertanyaan itu adalah negara apa
saja yang pernah menjajah bangsa Indonesia?”
Mansur mengisyaratkan moderator
untuk menjawab.
“Portugal, Spanyol, Belanda,
Inggris, dan Jepang, prof.”
“Negara-negara itu begitu familiar
dalam keseharian kita, bahkan sudah berhasil mengubah image masa
lalu menjadi negara maju dan pemain piala dunia,” kata Mansur tanpa
mengkonfirmasi lebih dulu kebenaran jawaban.
Layar proyektor mulai menampilkan
luas wilayah negara-negara eropa.
“Kalau kita perhatikan Belanda yang
katanya paling lama menjajah Indonesia, ternyata tidak seluas Jawa Barat.
Begitupun Spanyol tidak lebih besar daripada Sumatera, Inggris tidak lebih
besar daripada Kalimantan.”
“Jadi sebenarnya jawaban dari
pertanyaan ini adalah tidak ada. Sebab negara tersebut tidak pernah sampai
menjajah seluruh nusantara. Katakan saja Portugal hanya berhasil menaklukan
Maluku. Itupun tidak seluruhnya, dan kerap kali mendapat perlawanan dari
kesultanan.”
Terlihat banyak audience menganggukkan
kepala.
“Pertanyaan selanjutnya, apa misi
yang memboncengi negara-negara eropa untuk menjajah?”
“Gold, Glory, Gospel, Prof!”
seorang penonton berseru sebelum diminta.
“Benar sekali! Pertanyaan penting
selanjutnya, siapa yang mengizinkan penjajahan di muka bumi?”
Layar proyektor berubah menampilkan
gambar persebaran penjajahan di Asia.
Beberapa audience mulai
berpandangan satu sama lain.
Apakah ada yang lebih berkuasa
selain pemerintah dari negara penjajah itu sendiri?
Tanpa belama-lama, Mansur
memperjelas “jawabannya tersirat dalam gospel, misi penyebaran agama. Semenjak
keruntuhan Granada, melalui perjanjian Tordesillas tahun 1494, Paus Alexander
VI telah memberikan komando untuk membangun imperialisme di dunia.”
Ruangan riuh sejenak.
“Isi perjanjian Tordesillas sudah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.”
“Suka atau tidak inilah kenyataan.
Perjanjian tordesillas dipandang sebagai kebijakan yang mampu mengurangi peperangan
antar kerajaan katolik dan protestan di Eropa yang terus terjadi selama
berabad-abad,” Mansur terdiam sejenak. “Namun justru mendatangkan kepedihan
bagi negeri yang terjajah.”
“Ketidakcocokan antara kerajaan
katolik dan protestan pula yag menyebabkan negara Eropa terbagi-bagi. Keduanya
jauh dari toleransi. Sedangkan Indonesia tidak terpecah belah, karena
menjunjung tinggi toleransi. Nggak percaya, baca buku saya.”
Kalimat terakhir membuat penonton
yang larut dalam kengerian kembali tersenyum.
“Lantas apa yang sebenarya terjadi
selama perjuangan memperebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia?”
“Banyak sekali peran ulama dan
santri yang dikaburkan dalam buku sejarah, seolah-olah kerajaan Islam di
Nusantara menghilang setelah kehadiran penjajah. Yang tampak hanya perjuangan
tokoh yang diberi gelar nasionalis. Padahal perjuangan ini dimulai sejak
kehadiran para wali dari dinasi ottoman Turki. Memperjuangkan kesejahteraan dan
kemanusiaan di seluruh nusantara. Bahkan batik merupakan peninggalan dari Wali.
Ba titik. Berasal dari Bismillah. Batik. Nggak percaya, baca buku saya!”
Audience tersenyum tanpa
bersuara.
“Bangsa
pribumi yang masih menutupi diri dengan mengenakan dedaunan, tidak mungkin
diajari lansung membaca kalimat Allah. Para wali mulai mengajari cara
berpakaian dengan membuat batik bermotif daun.”
Mega teringat dengan relief
perkembangan zaman yang terukir di dinding depan museum Kalimantan Barat.
Dahulu nenek moyang tidak berpakaian, namun kehadiran sultan mampu mengangkat
derajat manusia, bahkan menghasilkan barang-barang keterampilan.
“Distorsi lainnya…,” kata Mansur
memecah keheningan. “Perserikatan Muhammadiyah tidak dianggap sebagai pelopor
gerakan pendidikan. Hari Pendidikan Nasional justru jatuh tanggal 2 Mei
mengikuti kelahiran ki Hajar Dewantara. Padahal gerakan yang dimotori oleh K.H Ahmad
Dahlan itu sudah 10 tahun lebih dulu dari kelahiran ki Hajar Dewantara tahun
1922.”
“Deislamisasi dan distori sejarah di
Indonesia didukung oleh berbagai kepentingan. Namun sudah banyak sejarawan
menggambarkan kronologi yang lebih komplit. Hanya soal kecerdasan, kesiapan
berpikir yang kompleks, yang akan membuat kalian mulai membaca kebenaran di
luar sana.”
“Baiklah, terimakasih kepada bapak
Mansur. Sungguh penjelasan luar biasa, yang mampu menggugah krisis kesadaran
sejarah di kalangan kaum pelajar,” kata moderator tanpa menutupi kekagumannya
terhadap Professor Mansur.
“Selanjutnya adalah sesi tanya
jawab, kami persilahkan tiga audience untuk bertanya.”
Cukup banyak audience yang
mengacungkan tangan. Moderator terpaksa memilih dari sisi depan, tengah, dan
belakang.
“Mengenai hari pendidikan nasional,
Prof. Saya tidak mengerti kenapa Prof menganggap penetapan tanggalnya keliru
padahal itu tidak pernah dipermasalahkan sejak pimpinan pertama pemerintahan
Indonesia?”
“Pertanyaan kedua!” Moderatur mempersilahkan
audience yang ada di tengah.
“Ketika prof menyebutkan Paus
Alexander VI telah mempelopori imperialisme. Apakah menandakan semua penganut
katolik atau protestan bersalah? Apakah mungkin Paus Alexander VI sebenarnya
citra buruk yang pernah dialami Kristen, tidak pernah melambangkan dunia
Kristen, sama halnya seperti yang terjadi pada dunia Islam selama peristiwa
kemunculan mu’tazillah?
Moderator tak bergeming menyimak
pertanyaan kedua. Dia baru menyadari saat audience kedua memperkenalkan
diri sebagai Keluarga Mahasiswa Khatolik.
Dia mempersilahkan pertanyaan
terakhir.
“Menanggapi pernyataan Prof tentang
sejarah ditulis menurut kepentingan. Apakah itu berarti prof sendiri kurang
objektif dalam menuliskan buku ini?”
Sangat tajam, anak-anak! Kritik
berbalut pertanyaan terhadap Professor Mansur baru saja dimulai, batin Mr. Dimas,
menyaksikan seminar dari kejauhan. []
0 komentar: