Chapter 2 Distorsi

By | 7/01/2018 12:41:00 AM Leave a Comment
Banner seminar sudah terpajang rapi di dinding podium.
            Deislamisasi Sejarah Indonesia. Begitu temanya.
            Mega dan Irwan duduk paling pinggir untuk menghindari pusat perhatian. Mesin pendingin udara seukuran kulkas tepat berada di samping mereka, sengaja diatur sampai 16 derajat celcius.
            “Dingin!” suara gemetar terdengar di belakang mereka, seseorang sedang memeluk tubuhnya sendiri dengan lengan bersilang.
             Mega refleks memencet tombol ke atas untuk menaikkan suhu.
            “Makasih!” ujarnya kepada Mega dengan logat melayu sambas yang kental.
            Mega mengangguk dan melebarkan pandangannya ke seluruh peserta.
            “Pasti ada mereka kan? HMI, KAMMI, HTI?” tanya Irwan dengan pandangan tetap lurus ke depan.
            “Aku kira lebih dari itu, ada KMK!” ucap Mega tidak percaya
            Apa yang mereka lakukan di sini!
            Irwan mulai mengepalkan tangan, turut merasakah aliran adrenalin yang tiba-tiba mengalir ke setiap pembuluh darahnya.
            Ini akan menjadi perang urat saraf!
            Lampu amphitiater mulai dimatikan. hanya menyisakan penerangan di arena podium. Seseorang menaiki mimbar dan mulai membacakan susunan acara.
***
(1 jam sebelum seminar)
            “Kenapa kau tidak bilang padaku ada seminar semacam itu?”
            “Aku kira posternya sudah terpajang di setiap mading kampus, pak!” jawab Dina seadanya.
            “Lalu apa tugasmu sebagai asisten!”
            “Tenanglah, Ndre!” kata Mr. Dimas. “Aku sudah meminta perwakilan KMK hadir.”
            “Apa kau sudah yakin mereka punya wawasan yang cukup?”
            “Sayangnya kau sendiri yang akan memastikannya kali ini. Kau akan duduk di sana sekaligus memberikan kata sambutan.”
            “Aku?” jawab Andre terkejut. “Bukankah kau yang lebih dia kenal?”
            “Aku tidak ingin membuat jantungnya bermasalah. Lagipula dua mahasiswaku perlu mendapat pelajaran hari ini.”
***
            Dosen dan professor yang hadir telah memenuhi kursi depan dan beruntung tidak ada yang mempertanyakan kehadiran dua bocah itu.
            “Acara selanjutnya adalah kata sambutan dari Professor Andre Wijaya. Kepada Professor kami persilahkan,” MC kembali mempersilahkan.
            “Saya ucapkan selamat datang kepada dosen saya, sewaktu masih kuliah di UNPAD. Dosen luar biasa, Professor Ahmad Mansur Suryanegara.” kata Andre setelah menyampaikan salam pembuka.
            “Sewaktu kami masih menjadi mahasiswa yang ‘naïve’, seringkali menjuluki beliau sebagai the living homo sapiens,” Andre terdiam sejenak membiarkan audience tertawa.
            “Homo sapiens…,” kata Andre dengan suara lantang. “Saya lebih senang membahas sejarah nenek moyang manusia mulai dari sini. Walaupun tergolong purba, tapi sudah jelas manusia, terlebih memiliki pikiran cerdas dan bijaksana. Mampu menghasilkan begitu banyak benda-benda kebudayaan. Menciptakan Peradaban. Menghasilkan karya.”
            Andre melanjutkan, “makin ke sini, saya menyadari bahwa julukan itu lebih menyindir kepada kita semua, lantas siapa kita dalam posisi evolusi? Apakah cukup hanya dengan menggunakan gadget, kita dijuluki sebagai manusia modern, keturunan homo sapiens?”
            Andre berhasil menguasai panggung. Menghipnotis penonton.
            “Terlepas dari ciri fisik teori evolusi Darwin, jika hanya melihat dari kemampuan berpikir seorang makhluk…,” Andre memberi penekanan. “Ada dimana kita dalam posisi ini? Homo sapiens kah?” Andre kembali bertanya dengan nada muram.
            Mega merinding mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi itu.
            Martabat kemanusiaannya sedang diuji.
            Andre tersenyum getir menyaksikan kebingungan yang terpasang di wajah generasi muda di depannya.
            “Maaf sudah membawa kaliah terlalu jauh ke jutaan tahun belakang.”
            “Nenek moyang kita,” jelas Andre. ”Merekalah yang berhasil memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.”
            “Untuk menghargai anugerah paling besar dalam diri manusia,” kata Andre sambil menunjuk ke arah kepala. “Professor Ahmad Mansur Suryanegara akan mengajak kalian untuk berpikir dan merenung sejak abad 14,” tutup Andre diakhiri dengan salam.
            Tepuk tangan bergemuruh menyertai langkahnya menuruni podium.
            “Kita perlu dosen seperti ini di kelas Filsafat, Meg!” Andre yang semula tidak antusias kini begitu bersemangat.
            Mega mengakui kecerdasan Professor itu namun dia masih terganggu dengan isu yang mengabarkan Professor Andre adalah seorang liberal.
***
            Professor Mansur sudah duduk di atas sofa yang disiapkan di podium. Di depannya sudah tersaji dua buku hasil karyanya, yang satu memiliki cover berwarna hitam, Api Sejarah Jilid I dan satunya lagi berwarna merah, Api Sejarah Jilid II.
            Dia mengenakan jam tangan kulit di pergelangan sebelah kanan, serta sebuah syall bergradasi merah dan putih menggantung di lehernya. Penampilannya sangat bersahaja. Di usianya yang lebih tua dari negara Indonesia. 74 tahun. Dia masih semangat memberikan ceramah tentang sejarah Indonesia.
            Dia tampil tanpa nada retorika, ritmenya seolah sama seperti ailran air yang mengalir di sungai yang tenang.
            “Ada beberapa pertanyaan sejarah yang sering muncul di bangku sekolah. Kitapun lebih mudah menjawabnya daripada pertanyaan seputar siapa dan tahun berapa. Pertanyaan itu adalah negara apa saja yang pernah menjajah bangsa Indonesia?”
            Mansur mengisyaratkan moderator untuk menjawab.
            “Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Jepang, prof.”
            “Negara-negara itu begitu familiar dalam keseharian kita, bahkan sudah berhasil mengubah image masa lalu menjadi negara maju dan pemain piala dunia,” kata Mansur tanpa mengkonfirmasi lebih dulu kebenaran jawaban.
            Layar proyektor mulai menampilkan luas wilayah negara-negara eropa.
            “Kalau kita perhatikan Belanda yang katanya paling lama menjajah Indonesia, ternyata tidak seluas Jawa Barat. Begitupun Spanyol tidak lebih besar daripada Sumatera, Inggris tidak lebih besar daripada Kalimantan.”
            “Jadi sebenarnya jawaban dari pertanyaan ini adalah tidak ada. Sebab negara tersebut tidak pernah sampai menjajah seluruh nusantara. Katakan saja Portugal hanya berhasil menaklukan Maluku. Itupun tidak seluruhnya, dan kerap kali mendapat perlawanan dari kesultanan.”
            Terlihat banyak audience menganggukkan kepala.
            “Pertanyaan selanjutnya, apa misi yang memboncengi negara-negara eropa untuk menjajah?”
            Gold, Glory, Gospel, Prof!” seorang penonton berseru sebelum diminta.
            “Benar sekali! Pertanyaan penting selanjutnya, siapa yang mengizinkan penjajahan di muka bumi?”

            Layar proyektor berubah menampilkan gambar persebaran penjajahan di Asia.
            Beberapa audience mulai berpandangan satu sama lain.
            Apakah ada yang lebih berkuasa selain pemerintah dari negara penjajah itu sendiri?
            Tanpa belama-lama, Mansur memperjelas “jawabannya tersirat dalam gospel, misi penyebaran agama. Semenjak keruntuhan Granada, melalui perjanjian Tordesillas tahun 1494, Paus Alexander VI telah memberikan komando untuk membangun imperialisme di dunia.”
            Ruangan riuh sejenak.
            “Isi perjanjian Tordesillas sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.”
            “Suka atau tidak inilah kenyataan. Perjanjian tordesillas dipandang sebagai kebijakan yang mampu mengurangi peperangan antar kerajaan katolik dan protestan di Eropa yang terus terjadi selama berabad-abad,” Mansur terdiam sejenak. “Namun justru mendatangkan kepedihan bagi negeri yang terjajah.”
            “Ketidakcocokan antara kerajaan katolik dan protestan pula yag menyebabkan negara Eropa terbagi-bagi. Keduanya jauh dari toleransi. Sedangkan Indonesia tidak terpecah belah, karena menjunjung tinggi toleransi. Nggak percaya, baca buku saya.”
            Kalimat terakhir membuat penonton yang larut dalam kengerian kembali tersenyum.
            “Lantas apa yang sebenarya terjadi selama perjuangan memperebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia?”
            “Banyak sekali peran ulama dan santri yang dikaburkan dalam buku sejarah, seolah-olah kerajaan Islam di Nusantara menghilang setelah kehadiran penjajah. Yang tampak hanya perjuangan tokoh yang diberi gelar nasionalis. Padahal perjuangan ini dimulai sejak kehadiran para wali dari dinasi ottoman Turki. Memperjuangkan kesejahteraan dan kemanusiaan di seluruh nusantara. Bahkan batik merupakan peninggalan dari Wali. Ba titik. Berasal dari Bismillah. Batik. Nggak percaya, baca buku saya!”
            Audience tersenyum tanpa bersuara.
            “Bangsa pribumi yang masih menutupi diri dengan mengenakan dedaunan, tidak mungkin diajari lansung membaca kalimat Allah. Para wali mulai mengajari cara berpakaian dengan membuat batik bermotif daun.”
            Mega teringat dengan relief perkembangan zaman yang terukir di dinding depan museum Kalimantan Barat. Dahulu nenek moyang tidak berpakaian, namun kehadiran sultan mampu mengangkat derajat manusia, bahkan menghasilkan barang-barang keterampilan. 
            “Distorsi lainnya…,” kata Mansur memecah keheningan. “Perserikatan Muhammadiyah tidak dianggap sebagai pelopor gerakan pendidikan. Hari Pendidikan Nasional justru jatuh tanggal 2 Mei mengikuti kelahiran ki Hajar Dewantara. Padahal gerakan yang dimotori oleh K.H Ahmad Dahlan itu sudah 10 tahun lebih dulu dari kelahiran ki Hajar Dewantara tahun 1922.”
            “Deislamisasi dan distori sejarah di Indonesia didukung oleh berbagai kepentingan. Namun sudah banyak sejarawan menggambarkan kronologi yang lebih komplit. Hanya soal kecerdasan, kesiapan berpikir yang kompleks, yang akan membuat kalian mulai membaca kebenaran di luar sana.”
            “Baiklah, terimakasih kepada bapak Mansur. Sungguh penjelasan luar biasa, yang mampu menggugah krisis kesadaran sejarah di kalangan kaum pelajar,” kata moderator tanpa menutupi kekagumannya terhadap Professor Mansur.
            “Selanjutnya adalah sesi tanya jawab, kami persilahkan tiga audience untuk bertanya.”
            Cukup banyak audience yang mengacungkan tangan. Moderator terpaksa memilih dari sisi depan, tengah, dan belakang.
            “Mengenai hari pendidikan nasional, Prof. Saya tidak mengerti kenapa Prof menganggap penetapan tanggalnya keliru padahal itu tidak pernah dipermasalahkan sejak pimpinan pertama pemerintahan Indonesia?”
            “Pertanyaan kedua!” Moderatur mempersilahkan audience yang ada di tengah.
            “Ketika prof menyebutkan Paus Alexander VI telah mempelopori imperialisme. Apakah menandakan semua penganut katolik atau protestan bersalah? Apakah mungkin Paus Alexander VI sebenarnya citra buruk yang pernah dialami Kristen, tidak pernah melambangkan dunia Kristen, sama halnya seperti yang terjadi pada dunia Islam selama peristiwa kemunculan mu’tazillah?
            Moderator tak bergeming menyimak pertanyaan kedua. Dia baru menyadari saat audience kedua memperkenalkan diri sebagai Keluarga Mahasiswa Khatolik.
            Dia mempersilahkan pertanyaan terakhir.
            “Menanggapi pernyataan Prof tentang sejarah ditulis menurut kepentingan. Apakah itu berarti prof sendiri kurang objektif dalam menuliskan buku ini?”
            Sangat tajam, anak-anak! Kritik berbalut pertanyaan terhadap Professor Mansur baru saja dimulai, batin Mr. Dimas, menyaksikan seminar dari kejauhan. []

Newer Post Older Post Home

0 komentar: