SKEMA
#adventure #college #sliceoflife #drama
PROLOGUE
Ruang Dosen
16.15
Banyak hal tidak
terkontrol terjadi di kampus selama kepergiannya ke London. Rasa tanggung jawab
yang tinggi mendorong lelaki yang berusia tiga puluh delapan tahun itu untuk
lembur. Dia harus merapikan beberapa pekerjaan, mengurutkan deadline,
mengoreksi laporan, merancang berbagai kegiatan, dll. Dia tidak menghiraukan
ketukan dari pintu ruangan sampai bola matanya mengarah ke sudut kanan bawah
layar kerja. Sudah sore, saatnya beristirahat.
Seseorang masuk ke
dalam setelah Mr. Dimas mengizinkan. Terdengar kalimat yang lumrah di
telinganya, “Permisi Pak! Maaf mengganggu sebentar.”
Mr. Dimas hanya membalas
dengan senyum tipis kemudian menyuruh mahasiswa itu duduk.
“Sudah sampai mana
skripsimu?” kata Mr. Dimas langsung ke topik pembicaraan.
Mahasiswa itu
menarik napas dalam. “Maaf Pak, sepertinya saya ingin berhenti kuliah.”
Mr. Dimas
mengurutkan kening, mencoba melihat kemantapan bicara dari sorot mata mahasiswa
itu. “Ada apa lagi Meg? Apa kau mendapat ilmu-ilmu aneh selama pencarian jati
diri?”
“Ada yang salah
dengan sistem pendidikan, Pak! Kita telah bersandar pada teori yang diilhami
dari berbagai binatang. Tanpa kita sadari, aktivitas pendidikan berasal dari
eksperimen terhadap hewan pengerat sampai anjing. Kita terlalu banyak mengadopsi
pemikiran barat daripada Al Quran,” Mega menjelaskan dengan baik, seolah-olah
dia telah berlatih untuk menghadapi percakapan ini.
Kalimat Mega
terkesan seperti minuman yang terlalu dingin dan langsung memicu sakit kepala
Mr. Dimas. Dia terbiasa menghadapi berbagai macam kharakteristik mahasiswa, mamun
Mega adalah satu-satunya mahasiswa yang entah mengapa mengerjakan skripsi
bersanding dengan perjalanan spiritual.
Mr. Dimas
membenarkan posisi duduk sembari berusaha memilih penjelasan yang tepat untuk
meluruskan pemahaman Mega.
“Okay, saya
tahu belakangan ini makin banyak orang phobia terhadap barat, apalagi setelah
kejahatan genosida yang mereka lakukan di timur tengah. Namun, kita tidak boleh
serta merta menghubungkan masalah itu dalam konteks pendidikan. Masih ada teori
lain yang kita gunakan dan diadopsi dari eksperimen terhadap manusia,” Mr.
Dimas berhenti sejenak dan mengerti isyarat tatapan Mega yang meminta
penjelasan lebih.
“Look! Ayat
Al Quran tidak diselipkan dalam skripsi karena itu dogma. Kalimat Tuhan tidak
bisa dibantah, tidak bisa diperdebatkan. Itulah mengapa ada saran dalam bab
penutup. Penelitian kita penuh dengan kekurangan.”
Mega tidak menutupi
kekagumannya terhadap penjelasan Mr. Dimas. Dia setuju namun masih melanjutkan
keluhan. “Saya masih bingung, pak. Lantas apa esensi melanjutkan penelitian ketika
saya sudah tahu gambaran sampel?”
Google Image |
Kenapa Mega
terlihat begitu naive dalam membedakan antara asumsi dan fakta. Mega bukan anak
yang bodoh, dia hanya mengalami apa yang disebut penganut Constructivist
sebagai konflik kognitif.
“Jangan cepat
menyimpulkan segala sesuatu Meg!” akhirnya kalimat itu yang keluar dari Mr.
Dimas. “Penelitian adalah cara membuktikan bahwa asumsi kita benar dan bisa
dipertanggung jawabkan.”
“Ayolah, Meg! Jika
skripsimu selesai, kau akan lebih leluasa mempelajari banyak hal lebih lanjut,”
bujuk Mr. Dimas, terdengar kurang yakin karena dia sadar kalau ini ajakan yang
sama setelah tiga kali Mega menghadap tanpa ada perkembangan sama sekali
terhadap skripsinya.
Mr. Dimas masih
memperhatikan Mega. Ingin sekali ia membuka tempurung kepala dan mengatur
jalannya skema pemikiran Mega. Mr. Dimas bisa dengan mudah memanfaatkan
jabatannya untuk mengancam Mega apabila tidak segera menyelesaikan studinya.
Namun tidak ia lakukan karena ia melihat Mega seperti menyaksikan dirinya di
masa lampau. Realitas akan menyadarkan Mega mana yang lebih prioritas dan
semoga ia tidak terlambat.
“Terimakasih sudah
meluangkan waktunya, Pak!” pamit Mega.
“Bapak berharap
kamu bisa segera menentukan pilihan dengan bijak, Meg!” pesan Mr. Dimas sebelum
Mega beranjak dari tempat duduknya.
Mega menangkap
kekhawatiran dari pandangan Mr. Dimas. Mega mencoba menjawab dengan ekspresi
terbaik bahwa dia akan baik-baik saja. Mega senang karena ada secercah cahaya
yang menerangi kekalutannya selama ini. Mr. Dimas benar dia terlalu cepat
menyimpulkan. Apa yang salah ketika belajar dari hewan?
Bebagai pertanyaan mulai membanjiri kepalanya lagi, dan lagi.
Don’t forget to press the love button and comment if you want to
support this story.
Sincerely,
June
© All Rights Reserved
0 komentar: