SKEMA PROLOGUE

By | 4/11/2018 10:37:00 AM Leave a Comment
SKEMA
#adventure #college #sliceoflife #drama
PROLOGUE
Ruang Dosen
16.15
            Banyak hal tidak terkontrol terjadi di kampus selama kepergiannya ke London. Rasa tanggung jawab yang tinggi mendorong lelaki yang berusia tiga puluh delapan tahun itu untuk lembur. Dia harus merapikan beberapa pekerjaan, mengurutkan deadline, mengoreksi laporan, merancang berbagai kegiatan, dll. Dia tidak menghiraukan ketukan dari pintu ruangan sampai bola matanya mengarah ke sudut kanan bawah layar kerja. Sudah sore, saatnya beristirahat.
            Seseorang masuk ke dalam setelah Mr. Dimas mengizinkan. Terdengar kalimat yang lumrah di telinganya, “Permisi Pak! Maaf mengganggu sebentar.”
            Mr. Dimas hanya membalas dengan senyum tipis kemudian menyuruh mahasiswa itu duduk.
            “Sudah sampai mana skripsimu?” kata Mr. Dimas langsung ke topik pembicaraan.
            Mahasiswa itu menarik napas dalam. “Maaf Pak, sepertinya saya ingin berhenti kuliah.”
            Mr. Dimas mengurutkan kening, mencoba melihat kemantapan bicara dari sorot mata mahasiswa itu. “Ada apa lagi Meg? Apa kau mendapat ilmu-ilmu aneh selama pencarian jati diri?”
            “Ada yang salah dengan sistem pendidikan, Pak! Kita telah bersandar pada teori yang diilhami dari berbagai binatang. Tanpa kita sadari, aktivitas pendidikan berasal dari eksperimen terhadap hewan pengerat sampai anjing. Kita terlalu banyak mengadopsi pemikiran barat daripada Al Quran,” Mega menjelaskan dengan baik, seolah-olah dia telah berlatih untuk menghadapi percakapan ini.
            Kalimat Mega terkesan seperti minuman yang terlalu dingin dan langsung memicu sakit kepala Mr. Dimas. Dia terbiasa menghadapi berbagai macam kharakteristik mahasiswa, mamun Mega adalah satu-satunya mahasiswa yang entah mengapa mengerjakan skripsi bersanding dengan perjalanan spiritual.
            Mr. Dimas membenarkan posisi duduk sembari berusaha memilih penjelasan yang tepat untuk meluruskan pemahaman Mega.
            “Okay, saya tahu belakangan ini makin banyak orang phobia terhadap barat, apalagi setelah kejahatan genosida yang mereka lakukan di timur tengah. Namun, kita tidak boleh serta merta menghubungkan masalah itu dalam konteks pendidikan. Masih ada teori lain yang kita gunakan dan diadopsi dari eksperimen terhadap manusia,” Mr. Dimas berhenti sejenak dan mengerti isyarat tatapan Mega yang meminta penjelasan lebih.
            “Look! Ayat Al Quran tidak diselipkan dalam skripsi karena itu dogma. Kalimat Tuhan tidak bisa dibantah, tidak bisa diperdebatkan. Itulah mengapa ada saran dalam bab penutup. Penelitian kita penuh dengan kekurangan.”
            Mega tidak menutupi kekagumannya terhadap penjelasan Mr. Dimas. Dia setuju namun masih melanjutkan keluhan. “Saya masih bingung, pak. Lantas apa esensi melanjutkan penelitian ketika saya sudah tahu gambaran sampel?”
yunita-kusumawardani.blogspot.com
Google Image
            Kenapa Mega terlihat begitu naive dalam membedakan antara asumsi dan fakta. Mega bukan anak yang bodoh, dia hanya mengalami apa yang disebut penganut Constructivist sebagai konflik kognitif.
            “Jangan cepat menyimpulkan segala sesuatu Meg!” akhirnya kalimat itu yang keluar dari Mr. Dimas. “Penelitian adalah cara membuktikan bahwa asumsi kita benar dan bisa dipertanggung jawabkan.”
            “Ayolah, Meg! Jika skripsimu selesai, kau akan lebih leluasa mempelajari banyak hal lebih lanjut,” bujuk Mr. Dimas, terdengar kurang yakin karena dia sadar kalau ini ajakan yang sama setelah tiga kali Mega menghadap tanpa ada perkembangan sama sekali terhadap skripsinya.
            Mr. Dimas masih memperhatikan Mega. Ingin sekali ia membuka tempurung kepala dan mengatur jalannya skema pemikiran Mega. Mr. Dimas bisa dengan mudah memanfaatkan jabatannya untuk mengancam Mega apabila tidak segera menyelesaikan studinya. Namun tidak ia lakukan karena ia melihat Mega seperti menyaksikan dirinya di masa lampau. Realitas akan menyadarkan Mega mana yang lebih prioritas dan semoga ia tidak terlambat.
            “Terimakasih sudah meluangkan waktunya, Pak!” pamit Mega.
            “Bapak berharap kamu bisa segera menentukan pilihan dengan bijak, Meg!” pesan Mr. Dimas sebelum Mega beranjak dari tempat duduknya.
            Mega menangkap kekhawatiran dari pandangan Mr. Dimas. Mega mencoba menjawab dengan ekspresi terbaik bahwa dia akan baik-baik saja. Mega senang karena ada secercah cahaya yang menerangi kekalutannya selama ini. Mr. Dimas benar dia terlalu cepat menyimpulkan. Apa yang salah ketika belajar dari hewan?
            Bebagai pertanyaan mulai membanjiri kepalanya lagi, dan lagi.

Don’t forget to press the love button and comment if you want to support this story.
Sincerely,
June
© All Rights Reserved 
Newer Post Older Post Home

0 komentar: