Jangan Larang Aku Pacaran!

By | 5/06/2018 11:21:00 PM 1 comment
Salaam, Everyone! With me again, Yunita. Today, I'm going to tell you about the issue "Dating v.s Al Isra; 32" 
First of all, I'd like to tell you about my background. Aku tidak dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mengenal syariat Islam secara mendalam. Tapi, Ayahku selalu mengajarkan kepada kami "Jangan pernah meninggalkan sholat." Pada saat umurku 15 tahun, aku memaksakan diri mendaftar ke Madrasah Aliyah (setara SMA). Sebelum aku bertemu pelajaran fiqih, peraturan paling aneh yang pernah aku dengar adalah "Dilarang Pacaran!". 
"Seriously?! This is not cool!" begitu responku dulu.
Pemikiranku yang demikian tidak terlepas dari pengaruh SMP, aku bebas berdekatan dengan para boys, tidak ada peraturan sekolah yang melarang pacaran. Bahkan pernah seorang guru membuat sistem duduk sebangku, cowok dan cewek. "Kombinasi yang menarik!" katanya. 

Berhasil beradaptasi, peraturan seperti ini tidak lagi menggangguku, mungkin juga bagi teman-teman yang lain, soalnya mereka berpacaran diam-diam. Namun, yang tidak beruntung akan dipanggil guru BP, dalam kasus serius, ada yang sampai dikeluarkan dari sekolah. You know why? Because they did something like hollywood dating style

Sampai aku kelas 12, pertama kali mulai membahas Q.S Al Isra' ayat 32 adalah saat materi "Zina". Masih terbayang dalam ingatanku, pembahasan tentang ini menambah antusiasme kawan-kawan menyimak pelajaran. Namun, selama materi, guru yang bersangkutan tidak terlalu menyinggung hubungan linear antara pacaran dengan perzinahan.

Dalam kelas tertentu, dengan subjek pelajaran berbeda, aku juga menemukan beberapa guru tidak sungkan bergurau perihal si A dikomporin dengan si B. Intinya, semakin naik tingkat (kelas), prohibition atau larangan itu seolah memudar. Entah karena kemampuan negosiasi dari siswa yang caught red handed (ketangkep basah), atau apa, ini tentu butuh analisis mendalam.

Sehingga sampai pada masa titik balik (hijrah pemikiran), dan aku mendapat posisi penting dalam organisasi remaja masjid. Aku pun cukup vocal menyinggung orang berpacaran, dampaknya aku agak dijauhi dan ini mengarahkanku untuk lebih banyak membaca. Tak jarang aku berkeluh kesah kepada Allah 

"Ya Allah, Engkau memerintahkan kepada kami untuk beramr ma'ruf nahi mungkar, tunjukkanlah cara yang tepat, berilah aku ilham."

Akhirnya, aku sampai pada kesimpulan, setiap orang butuh proses untuk berubah. Bukankah wahyu diturunkan secara berangsur-angsur?
Tidak semua orang bisa dilarang pacaran dengan melemparkan dalil naqli, terkadang dia harus mengalami hal-hal traumatis selama berada dalam hubungan itu, sampai dia punya sikap jera. Sepanjang pengamatanku, hubungan ini menghambat produktivitas.
Gak juga, buktinya ada public figure berhijab dan berpacaran, mereka sukses-sukses aja karirnya? 

Come on! Sependek itu kah kamu mengartikan produktifitas?

OKE! Jadi gimana?

Begini, prinsip larangan dalam syariat itu sometimes balik ke orangnya lagi, can you handle your feeling with him/her? dampaknya terhadap kekhusyukan sholat gimana? minimal, cucian piring di rumah lu beresin nggak? lu makin sering baca buku nggak? tanggung jawab lu dalam organisasi? Tugas Akhir? Awww! Begitu produktivitas menurut gue. Well, karena kita tidak cukup sampai di Al Isra' ayat 32 (soalnya secara umum mengatakan "larangan mendekati zina" V.S pemikiran emangnya pacaran itu zina? ini ada hadist 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري)
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya”. (Muttafaq Alaihi)
Rasulullah sudah mewanti-wanti berduaan alias "mojok" sejak 14 abad silam.

Sumpah gue walaupun duduk berdua sama doi, nggak ngapa-ngapain kok. Jangan lebay deh.

Begitu kira2 respon "mereka".

Maka dari itu, kita perlu menumbuhkan sikap pengertian terhadap mereka yang terlanjur berpacaran. Ini tak lepas dari pengaruh globalisasi dan percampuran budaya. Hal ini secara tidak langsung menghilangkan inisiatif untuk mempelajari islam, memahami syariatnya, sehingga berdampak pada lemahnya daya filter terhadap pengaruh negatif. Jika kita salah metode, justru mereka makin menjauh. Disinilah peran kita diawali dengan mendoakannya, merangkulnya, menanamkan hal-hal positif secara bertahap dan kreatif (Q.S An Nahl; 125), dan Allah, Dia tidak pernah putus asa mengarahkan hamba-Nya ke jalan kebaikan.

Mungkin apa yang selama ini kita dapat di sosial media, mengenai penjelasan berpacaran dari ustadz A dan B, perlu pertimbangan jika kita ingin mengeshare (bermodal satu dua menit), ini berkaitan dengan ladang dakwah kita sendiri. Kita perlu pertimbangkan siapa-siapa teman kita di sosial media, tentu dari berbagai kalangan, ada sekedar teman, teman dekat, orang dewasa, kerabat, bahkan non muslim. Jika kembali melihat ke metode Rasulullah, beliau mulai dakwah kepada kerabat kemudian sahabat. Di sosial media (mengingat kalangan yang begitu luas), bagaimana jika aku tawarkan kita sampaikan hal-hal yang tidak beraroma "menjudge" atau kita tampilkan "quotes"? Menarik soal quotes, dianggap lebih sakti untuk beramr ma'ruf nahi mungkar walaupun kadang isinya tidak bertolak belakang dengan wahyu yang ada. (Inilah yang disebut fitrah, manusia sudah dibekali nilai-nilai kebaikan walaupun belum memeluk islam).

Tentu aku tegasin bukan berarti aku melarang Q.S Al Isra' ayat 32 dikumandangkan, justru aku appreciate sama akun2 yang buat video unik tentang dampak pacaran, dan kawan-kawan yang pernah membuat caption panjang tentang pacaran. Di sini aku mengeshare posisi aku yang berada dalam lingkungan orang-orang yang terbiasa pacaran, dan bagaimana peranku agar mereka jangan sampai menganggap dirinya tidak layak, datang dan berbuat baik di masjid.



Yang tak kalah penting adalah kita perlu terus mengevaluasi diri, banyak belajar, tidak merasa sudah baik, sempurna iman, lantas lalai dalam meningkatkan kualitas amal shaleh.

Mari banyak belajar!
Newer Post Older Post Home

1 comment: