Jamur dalam Cerpen

By | 6/04/2012 09:02:00 AM 1 comment
Genre: adventure, science fiction.
Getar Getir Pemburu Jamur
Spongiforma squarepantsii - There Is an Actual Spongebob Squarepants. And It's a Fungus
Spongiforma squarepantsii from gizmodo.com
Oleh: Yunita Kusumawardani
            Ia merasa gerah berdesak-desakan dengan pengendara motor lainnya. Masing-masing berlomba mencari celah keluar dari kemacetan. Dengan lincah ia menghindari knalpot yang jaraknya hanya sejengkal dari betisnya. Terkadang ia harus menambah atau mengurangi gigi sepeda motornya melewati lalu lintas yang kacau. Kondisi itu memaksa otot kakinya menghasilkan asam laktat berlebih, lantas lututnya mulai lelah. Hal yang tak biasa terjadi saat itu, sirine polisi terdengar dimana-mana. Mobil-mobil besar hitam khas TNI AD terlihat berbanjar di dekat Jembatan Kapuas. Suara megafon dari mobil patroli meminta pengendara untuk mengalihkan rute menuju jembatan kapuas  ke  jalan Imam Bonjol. Suasana lalu lintas semakin riuh akibat klakson pengendara bersahut-sahutan tanda ketidak sabaran dengan kemacetan.
            Sejumlah lelaki dengan senjata tajam di tangan tumpah ke
jalan protokol. Mandau yang terhunus itu merupakan senjata identik milik penduduk asli. Mereka juga melakukan aksi membakar ban hingga menghasilkan gumpalan asap yang membentuk atmosfer kota semakin mencekam. Ia semakin terhimpit dengan kemacetan yang berubah statis, sama sekali tidak bergerak. Orang-orang panik bercampur takut dengan aksi mereka, tak terkecuali dirinya. Keringat mengalir deras melewati pelipis sambil berusaha menelan ludah yang tersekat di kerongkongannya,  ia berusaha membebaskan diri dari kemacetan. Di sela kemacetan, tampak seorang lelaki bertelanjang dada sambil menghunuskan arit ke atas, dia mengungkapkan protes akan keberadaan Front Pembela Islam di Kalimantan Barat. Bagaimanapun situasi saat itu, ia coba tetap tenang. Kini lalu lintas kembali bergerak, walau tak lebih cepat dari siput. Jumat itu menjadi saksi ketegangan kota Pontianak.
            Akhirnya, ia berhasil lolos dari kemacetan. Ia mengibaskan keringat dan debu yang menempel di bajunya akibat terjebak macet selama 2 jam. Lantas ia memacu kendaraannya hingga 60 km/jam. Getaran halus yang berasal dari saku celananya, ia abaikan. Ia harus segera pulang ke rumah.
***
            Direbahkan tubuhnya yang penat akibat kemacetan yang menguras tenaganya. Tiba-tiba ia teringat dengan ponselnya. Ternyata ada 10 panggilan tak terjawab dan 15 pesan masuk. Semua pesan berisi tentang situasi kota yang mencekam. Sebagian pesan hanya memprovokator kedua kubu tersebut. Ia hanya menghela nafas panjang melihat isi pesan yang tidak bertanggung jawab itu. Kemudian, ia membalas 10 panggilan tak terjawab yang dikirim Topik, temannya.
            “Hallo, Nit! Kamu dimana?” tanya Topik.
            “Salam dulu kalau ngomong Pik! Jangan main sembur aja. Basah tau! Aku udah sampai rumah dengan selamat dan tidak tergores sedikitpun. Puas!” serangnya.
            “Lho, maksud kamu apa Nit? Aku minta kunci motorku dikembalikan. Tadikan sebelum sholat Jumat aku titip. Kamu main pulang aja!” Balas Topik sambil menggerutu.
            “Kunci? Astaghfirullah, a aku lupa! Jadi kamu dimana sekarang?” tanyanya sambil terbata.
            “Aku lagi dikepung sekelompok massa!” seru Topik.
            “Ha! Mau aku panggil polisi?” pintanya khawatir.
            “Hahaha... bercanda bu! Kamu baik-baik aja kan Nit?” tanya Topik dengan merendahkan nada suaranya mengalihkan kekhawatiran Nita.
            “Dasar! Kamu ngerjain aku lagi ya?” Jawabnya kesal.
            “Maaf deh, aku kira kamu trauma akibat kejadian tadi sore, hehehe”
            “Jadi tujuan kamu apa nelpon aku sampai 10 kali!” balasnya menyelidik.
            “Duh, neng lupa lagi! Kunci motorku masih sama kamu kan?”
            “Oh, iya ya! Salah kamu juga nggak ngingatin aku. Lagipula, masa aku ditinggal sendirian di Lab sampai sore. Jadi kamu udah pulang atau masih di kampus?”
            “Maaf Nit, tadi aku dimintai tolong sama dosen. Alhamdulillah aku udah pulang sama Wahyu. Besok aku ke rumahmu ngambil kunci ya? Nanti aku juga ajak Wahyu sama Ranu untuk membicarakan rencana kepergian kita.”
            “Iya, terserah kamu aja.” Sahut Nita.
            “Ya sudah, mimpi indah ya Say! Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumsalam cumi, huh!” tutupnya. Pembicaraan tadi mengingatkannya akan rencana ekspedisi ke pedalaman Ketapang. Ia tahu bahwa penduduk asli berdomisili di sana, bulu kuduknya sempat berdiri mengingat ulah oknum tadi sore.
***
            “Penerbangan ditunda dua hari, jadi kita berangkat Senin jam tujuh. Ini bagus bagi kita untuk persiapan mental dengan penduduk setempat.” Jelas Topik dalam kunjungannya ke rumah Nita.
            Nita mengerti walau apapun yang terjadi, ekspedisi ke pedalaman Ketapang untuk mendukung penelitian yang sedang mereka garap harus dituntaskan. Mereka harus menemukan Spongiforma squarepantsii, nama ilmiah yang unik untuk sebuah jamur. Karena memang diambil dari tokoh kartun Nickelodeon, Spongebob Squarepants. Penelitian mereka memparkan bahwa jamur ini disinyalir dapat menghambat pertumbuhan virus.
            “Kenapa kita nggak ke Malaysia aja Pik?” Tanya Ranu.
            “Malaysia dengkulmu! Dana darimana? Proposal yang ini saja sudah beberapa kali diperbaiki.” Sahut Topik dengan geram.
            “Bahkan kalau umur jamur itu tidak pendek, kita tidak perlu bersusah payah ke pedalaman. Hanya ini waktu yang tepat untuk berburu jamur itu. Perhatikan! Sekarang ini musim hujan, udara sering lembab. Jamur pasti tumbuh. Walau kemungkinan masih fifty-fifty, mengingat jamur ini langka dan hanya ditemukan di Kalimantan saja. Inilah sikap ilmuwan Bro! Lagian informasi letak jamur ini tidak kita peroleh dari sembarang orang, melainkan ilmuwan yang mempuni-Prof Yusuf-sudah berkelana ke mana-mana untuk melakukan penelitian. Bukanlah suatu kebetulan kalau informasi dari beliau membuat kita bersama-sama meneliti jamur unik ini. Kita hanya perlu jamur yang masih segar untuk mendukung dan memantapkan penelitian kita. Kalau kita menyerah, kesempatan untuk lolos di kancah International Science and Technology Exhibition di luar negeri cuma jadi mimpi belaka.” Jelas Wahyu panjang lebar.
            “Jangan berangan-angan dulu Mas, niat kita harus tetap lurus untuk kemaslahatan manusia. Kalaupun kita sampai ke sana, ya disyukuri. Ulah oknum kemarin jangan sampai menciutkan nyali kita. Ingat! Tidak semua penduduk asli mengerikan, iya kan Nit?” sergah Topik yang melihat Nita hanya diam dan tidak turut berdiskusi.
            Nita membalasnya dengan anggukan kepala dan senyuman. Sebenarnya ada rasa khawatir dalam dirinya untuk pergi ke sana. Namun, segera ia buang jauh-jauh perasaan itu. Ia bertekad akan melawan segala tantangan yang menghadang demi kesuksesan penelitian. Malam selanjutnya, ia lembur untuk menjelajahi internet tentang kebudayaan penduduk asli Kalimantan itu. Dengan begitu, ia berharap tidak akan “parno” ketika berhadapan dengan mereka.
***
            Namanya juga daerah pedalaman, medan yang dilalui tentu tidak mulus. Untungnya, Nita dan kawan-kawan pergi menggunakan mobil Jip. Mereka tidak akan merasakan cipratan genangan lumpur yang merekah di sepanjang jalan. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan pengendara motor yang terjebak lumpur kemudian mogok. Sesekali supir mereka menghentikan kendaraannya, seperti naik tol di Jakarta, hanya saja tarifnya murah meriah. Supir harus merogoh uang seribu untuk melewati jalan alternatif yang dibuat swadaya oleh warga di atas lubang besar yang dipenuhi air lumpur.
             Setelah lima jam perjalanan, mereka sampai di sebuah desa yang bernama Desa Benatu. Di ujung barat dan timur ada bukit yang mengelilingi desa ini. Di kiri kanan terlihat anak-anak kecil berlari mengiringi mobil mereka. Mereka langsung menuju kantor kepala Desa. Bangunan kantor itu mirip rumah adat yang ada di jalan A. yani II, kota Pontianak. Sebenarnya tak layak disamakan, mengingat rumah adat di jalan itu sudah tak terurus.
 “Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu. Selamat datang mahasiswa!” sambut pak Aurli ramah. Beliau adalah Kepala Desa Benatu. Nita sangat hapal dengan bunyi sambutan dari Pak Aurli tadi, yakni salah satu dari isi gurindam dua belas karya Raja Ali Haji. Ia  kagum dengan Pak Aurli yang tidak segan menggunakan peninggalan suku lain.
Malam semakin larut, sedangkan desa Benatu tidak memiliki akses listrik. Baik rembulan maupun bintang gemintang benar-benar memainkan sinarnya, mengisi kegelapan di setiap sudut rumah kala itu. Nita tidur terpisah dengan teman-temannya. Ia tidur di rumah Kepala Desa. Dan tiga temannya di kantor Kepala Desa.
***
            Sayup-sayup suara mengiuk-ngiuk terdengar dari bawah lantai rumah mengusik tidur Nita yang lelap. Sepertinya suara itu milik hewan peliharaan Pak Kades. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 04. 30 waktu solat subuh Indonesia bagian barat. Ia ingin bertanya dimana ia harus mengambil air wudu, namun ia segan membangunkan istri Pak Kades yang menemaninya tidur. Ia hanya bertayamum. Ia juga tidak mengetahui arah kiblat sehingga ia hanya menghadap ke salah satu sudut kamar. Bukankah Allah berfirman Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah...”
***
Matahari mulai menyapa pagi namun sinarnya tak kuasa sampai ke permukaan akibat dihalangi awan-awan cumulus nimbus. Sebab pertanda akan turun hujan, mereka bergegas masuk ke dalam hutan dengan dibimbing oleh seorang pemuda kampung, Ipo. Dia dipercaya Pak Kades menunjuki jalan, karena dia sering berburu di hutan. Pemuda ini hanya bertelanjang dada dan hanya memakai celana parasut sambil memegang mandau di tangannya. Nita sedikit ngeri namun juga lega karena pemuda ini tidak mengenakan cawat.
Hujan masih belum turun, namun awan-awan masih menggantung di cakrawala. Mereka sudah berjalan sekitar 3 km dari desa. Pencarian jamur menjadi sulit mengingat ukurannya hanya 7 sampai 10 cm.
“Coba kita ikut sertakan mahasiswa kehutanan dalam ekspedisi ini, jamur itu pasti ketemu,” gerutu Wahyu.
“Ssst! Nanti bapaknya datang Yu!” Sahut Nita.
“Siapa?” tanyanya.
“Siapa lagi kalau bukan petugas hutan,” leluconnya kala itu.
“Hahaha, jangan meremehkan identitas sendiri Yu, mahasiswa farmasi juga nggak kalah unggul. Oh, iya! kita juga punya niat membudidayakannya Nit, jadi ini legal,” sanggah Topik.
Muncul lagi perasaan khawatir dalam benak Nita, mengingat mereka tidak meminta izin kepada pihak perlindungan dan konservatif hutan Kalimantan.
Mereka tak mungkin pergi lebih jauh dari itu, sebab Pak Kades telah memperingatkan bahayanya. Nita iseng menunjukkan foto Spongiforma squarepantsii kepada Ipo. Sontak Ipo mengisyaratkan untuk mengikutinya, sepertinya ia tahu dimana jamur itu tumbuh. Merekapun masuk lebih jauh ke dalam ke hutan.
“Coba dari tadi kita tunjukkan foto si Spongebob, kaki kita nggak bakalan gempor begini,” respon Ranu yang lambat menyesal.
Seperti dalam dongeng Alice in Wonderland, mereka dihadapkan dengan banyak jamur warna-warni yang tumbuh di sana sini. Alam membentuknya seperti sebuah taman. Tak jauh dari situ ada air terjun kecil. Rasa capai telah terbayar dengan keindahan alam itu. Untuk mengabadikan pemandangan ini, kamera digital siap dijepretkan. Namun, Nita segera menyuruh teman-temannya untuk fokus ke tujuan utama mereka. Mereka semakin girang ketika menemukan jamur  tumbuh di sana.
“Hore...!” teriak mereka.
***
            Mereka memutuskan untuk beristirahat di dekat aliran sungai. Tanpa pikir panjang, Ranu langsung meminum air itu. Bukannya merasa segar, dia justru memuntahkannya.
            “Busyet, Air apaan ni?! Asam banget!”
            Nita mengambil sampel air sungai, kemudian memasukkan PH meter ke dalamnya. Ternyata PH air menunjukkan angka 4,5.
            "Ini gawat! Air ini sudah tercemar, kesehatan warga dalam bahaya. Kita harus segera lapor Pak Kades,” seru Nita sambil membalikkan badannya ke arah teman-temannya. Ia sangat terkejut melihat keempat temannya sudah diringkus oleh sekelompok orang tak dikenal.
            “Tidak secepat itu gadis kecil,” sergah salah seorang dari mereka. Lelaki itu tampak seperti pekerja tambang. Jelaslah bahwa pencemaran disebabkan oleh pertambangan liar.
            “Siapa kalian, mahasiswa? Hm, kalian memasuki wilayah terlarang. Oleh sebab itu kalian harus dihukum!” sambung lelaki itu.
            Dalam ketegangan itu, tiba-tiba Ipo berontak dan berhasil mematahkan pertahanan orang yang menyergapnya. Kesempatan itu Nita gunakan untuk mengarahkan satu tendangan Haisoku ke daerah vital lelaki tadi. Tak ketinggalan, Topik juga mengarahkan satu pukulan ke rahang, kemudian perut, dan melibas kaki orang yang menyergapnya. Wahyu juga mengayunkan bagian belakang kepalanya ke jidat orang yang menyergapnya kemudian membanting tubuh orang itu. Sedangkan Ranu hanya menggelitiki orang yang menyergapnya karena pertahanannya sudah agak kendur melihat teman-temannya tak berdaya. Kemudian tak kalah hebatnya dengan Jackie Chan, Ranu mengakhiri pergulatan dengan melayangkan tendangan tobi mae geri  ke dada orang itu.
Mereka segera melarikan diri mengikuti Ipo, disusul dengan tembakan ke udara yang dilakukan oleh salah seorang lelaki yang baru mereka hajar.
“Wah, jurus kita belum sempurna ni, mereka masih bisa bergerak.” Seru Ranu. Tembakanpun semakin jadi mengikuti arah mereka pergi. Mereka terus saja berlari menembus belantara, tak perduli duri yang menggores kulit.
            Ipo mengajak mereka untuk menaiki pohon, berbekal tali yang mereka bawa, mereka berhasil memanjat Shorea[1] yang tumbuh belum terlalu tinggi. Ipo menirukan suara burung, sepertinya itu isyarat memanggil bala bantuan. Tak lama setelah itu, beberapa pemuda yang penampilannya mirip dengan Ipo datang dengan tombak dan mandau di kedua tangan mereka.  Mereka berhadapan dengan sekelompok lelaki jahat yang bersenjata. Nita berusaha menjelaskan kepada Ipo bahwa kita hanya perlu melumpuhkankelompok tadi, jangan sampai ada pertumpahan darah. Ipo mengangguk paham, dia mengeluarkan sumpit dan membidiknya ke kaki setiap lelaki tadi. Dengan berayun seperti Tarzan, ia menghampiri kelompoknya dan mengajak mereka untuk meringkus orang jahat tersebut. Merekapun berhasil.
***
            Pertambangan di daerah pelosok yang kian merajarela tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem dapat mengancam kelangsungan makhluk hidup. Penduduk desa yang awam, yang diimingi kesejahteraan dari pihak pembuka hutan, langsung saja merelakan hutan mereka untuk dimonopoli.
            Sayang seribu sayang, petugas hutan yang juga datang ke TKP melarang jamur itu diambil karena termasuk tumbuhan yang dilindungi. Getar getir perburuan mereka serasa sia-sia dan mereka menganggap masa depan mereka telah direbut bersamaan jamur itu.
Pak Aurli mencoba bernegoisasi dengan petugas hutan supaya diizinkan membawa jamur itu karena aksi heroik yang mereka lakukan. Kemudian Ridiculous! Seperti mantera yang di gunakan Harry Potter untuk merubah sesuatu yang ditakutkan menjadi apapun yang kita suka. Bapak petugas hutan itu berhasil ditaklukan oleh Pak Aurli. Mereka diberi izin membawa jamur itu untuk penelitian asal tetap dibudidayakan.
 Alunan gendang dan tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi dipersembahkan untuk mereka. Ipo tampil mengenakan baju adat, lengkap dengan karangan ranting pohon menyerupai mahkota yang turut menghiasi  kepalanya. Nita sempat tertegun melihat Ipo yang terlihat mempesona seperti pangeran karena tampil lebih bersih dari sebelumnya.
Ipo menghampiri Nita dan menyerahkan sebuah mangkok yang berisi sirih dan pinang. Ingatan Nita melayang pada malam dimana ia menjelajahi internet tentang adat istiadat Suku Dayak, kode yang diberikan Ipo pertanda bahwa dia ingin melamarnya.
Nita panik dan tak kuasa berdiam diri, ia lari pontang-panting meninggalkan perhelatan tersebut.
Ranu, Topik, dan Wahyu hanya tersenyum lebar kemudian tawa meraka tumpah ruah menyaksikan perangai temannya itu.

"Cerpen ini meraih juara 1 dalam Lomba Cipta cerpen

 se-Pontianak dalam rangka Ulang tahun Perak dan Chairil Anwar 

oleh HIMBASI FKIP UNIVERSITAS TANJUNGPURA 2012" 

  


[1] Nama ilmah dari Pohon tengkawang atau disebut juga Meranti merah yang merupakan flora identitas Propinsi Kalimantan Barat.
Newer Post Older Post Home

1 comment: