RIAM BEDAWAT: MY UNEXPECTED JOURNEY

By | 3/18/2021 02:44:00 AM 1 comment

Bermula lewat DM Instagram tanggal 19 Februari, saya terkejut ditanyai Bang Ian untuk ikut ngetrip ke Riam Bedawat. Blio merencanakan perjalanan naik motor alias touring dari tanggal 5-7 Maret mendatang.

Sebenarnya saya tidak terlalu minat pergi, sebab awal tahun sudah berkunjung ke air terjun, masa air terjun lagi. Namun setelah ditunjukkan foto Riam Bedawat, saya mulai mempertimbangkan. Di dalam foto terlihat Air Terjun Bedawat memiliki tujuh tingkat yang sangat elok. Lumayan nih nambah feed instagram, pikir saya.

Sayapun diajak bertemu dan mendiskusikan rute perjalanan bersama teman-teman rombongan nanti. Saya mendapati hanya 2 wanita yang hadir saat rapat, mereka terlihat sudah biasa traveling.

Semua yang hadir sangat vocal membicarakan perlengkapan wisata alam, banyak benda yang terdengar asing bagi saya, seperti fly sheet, nesting, sleeping bag, hammock, diperparah setelah mereka bilang kita butuh headlamp untuk menembus hutan di malam hari. Hah mampus! batin saya. Saya menjadi gugup karena sepertinya perjalanan ini akan sangat berbeda. Kemudian saya mencari hashtag #riambedawat di instagram, sampai akhirnya saya mulai mengerti alur pembicaraan rapat.

Hati saya terasa menciut ketika melihat rute perjalanan ternyata akan melewati tanah kuning. Saya pernah melewati jalan seperti itu saat pergi ke pedalaman Ketapang dan bersumpah tidak akan mau melewatinya lagi.

Kau yakin mau pergi, Ta?

Pukul 10 malam rapat selesai dan saya masih belum memutuskan apa-apa.

Malam hari seperti biasanya, sebelum tidur saya selalu menyempatkan diri berdoa menonton alur cerita film di youtube. Saya lanjut menyimak The Lord of The Rings dan The Hobbit dari channel Movierastis, tanpa saya sangka salah satu scene dalam sekuel ini telah menambah keberanian saya.

You will have to do without pocket handkerchiefs, and  a great many other things, before we reach our journey’s end, Bilbo Baggins. You were born to the rolling hills and little rivers of the Shire, but home is now behind you. The world is ahead.”

Dalam scene itu terlihat Gandalf berbicara kepada Bilbo yang kira-kira maknanya begini

“Kau harus tebiasa tidak menggunakan sapu tangan dan barang-barang bagus lainnya, rumah sekarang ada di belakangmu, dan dunia ada di depanmu.”

Niat saya pingin ikut menjadi bertambah secara signifikan, lalu saya mulai menyiapkan perlengkapan pribadi seperti tas carrier, sepatu hiking, dan tentu saja kacamata!

Seperti generasi instagram pada umumnya, saya kepingin ada konten ootd. Hahaha. Saya mencari artikel mengenai pakaian fashion yang tepat untuk mendaki. Beberapa sumber menggambarkan kemeja fanel adalah style favorit para pendaki.

Packing saya yang newbie


Saya juga mengajukan diri untuk membeli bahan-bahan masakan karena yang lain sudah bersedia menyiapkan perlengkapan outdoor alias camping yang cukup berat. Dari daftar belanjaan, saya baru tahu ternyata tidak boleh membawa terasi ke dalam hutan, katanya pamali. Ya sudah saya menurut saja daripada liburan saya berubah jadi dunia lain paranormal experience. Creepyyy

Nah, buat kalian yang newbie, menu masak untuk aktivitas outdoor yang bisa dipersiapkan diantaranya, sayuran yang tahan lama (seperti wortel, kol, jagung, dll), makanan kaleng (sarden, kornet, dll), telur (lebih baik kalau dikemas dalam wadah khusus atau egg holder), bekal kecap dan saus juga, yang terpenting jangan lupa penyedap rasanya, kan lucu kalau garam aja sampai ketinggalan.

Lalu perlengkapan wajib buat kamu yang punya budget lebih sekaligus penikmat kopi, tak lain dan tak bukan adalah coffee kit. Saya tidak bermaksud berlebihan dalam hal ini, tapi kopi yang dibuat dengan metode seduh sempurna akan menghasilkan flavor yang jauh lebih nikmat, lalu ditambah dengan suara dan suasana alam, jauh dari kebisingan kota, sensasinya bakal naikin hormon endorfin secara drastis. Asekkk!

Akhirnya hari H pun tiba, saya tidak lupa mengumumkan ke jagad maya tentang kepergian saya

“Bismillah road to Desa Dange Aji, Kab. Landak. I’ll be out of reach until sunday”

Mulanya saya mengira hanya ada 10 orang yang pergi, ternyata Aan membawa teman-temannya yang lain. Tersebutlah Bang Ian, Bang Ahmad, Ilham, Kak Eka, Diah, Rangga, Andi, Uli, Diana, Aan, Yoga, Mahmud, Tegar, Amar, dan saya menjadi satu rombongan touring yang diberi nama SLB, singkatan dari Seribu Langkah Borneo.

RUTE DAN DURASI PERJALANAN

Pontianak – Ambawang – Simpang Ampar – Sosok – Ngabang – Desa Dange Aji (Serimbu) – Riam Bedawat

Kami mulai beranjak dari Pontianak hari Jumat, tanggal 5 Maret sekitar pukul 8 malam. Terbesit perasaan khawatir sekaligus senang di dalam benak saya.

Oh, begini toh rasanya touring

Dua motor dari rombongan kami menggunakan knalpot racing yang membisingkan, namun entah mengapa itu terasa keren, seolah membuat orang-orang yang melihat kami merasa segan, dan terpaksa minggir mengalah ketika kami melewati jalan raya. Hehe.

Teman kami yang menggunakan motor matic beberapa kali harus berhenti mencari pom bensin atau kios.

Jalanan terlihat sepi, gelap, semak dan tentu saja sawit. Truk ekspedisi yang mengejar setoran terpantau banyak beroperasi tengah malam begini. Jalanan cukup mulus, dan berkelok. Kami harus extra hati-hati saat melewati jalan di Simpang Ampar karena ada beberapa lubang yang mengagetkan membahayakan pengendara.

Sekitar pukul 12 malam, kami berhenti sejenak di Ngabang untuk makan.

Singgah sejenak makan di Lamongan Ergo 01, Ngabang

Nah, di saat seperti ini nafsu makan saya mulai bertingkah. Sementara orang-orang menghabiskan makanannya, saya terpaksa harus membungkus pesanan saya karena lambung saya berlagak seperti Sultan.

Kampret! Otak gue sih simpel aja mikirnya tinggan ditelen, tapi kerongkongan gue menolak makan nasi yang kurang pulen. Tsaat!

Setelah ini saya harus menanggung resiko bahwa saya harus kuat melanjutkan perjalanan sebagai individu yang memperoleh asupan makan paling sedikit. Huhuhu~

Dari Lamongan Ergo 01 kami akhirnya melanjutkan perjalanan (kali ini sudah ditemani guide) menuju Desa Dange Aji sekitar jam 00.30.

Di dalam hati, saya sudah menanti-nanti, mana ya jalan kuning itu?

Sekitar pukul 2 atau 3 gitu…

Sudahlah kuning, berdebu, berbatu, kok tanjakannya keterlaluan sih?!

Begitu gerutu saya. Saya tidak habis pikir jalanan ini jauh lebih parah dibandingkan dengan jalan kuning yang saya lalui saat di Ketapang.

Beberapa kami yang dibonceng terpaksa turun dari motor ketika melewati jalanan yang menanjak. Tinggi dan panjang menjulang!

Namanya juga jalan yang tidak tersentuh APBN, begitu hibur saya kepada diri sendiri.

Saya masih ingat betul betapa beratnya tas carrier yang ada di punggung saya saat itu. Rasanya mau nangis dan keluar dari mimpi buruk ini. Saya kira akan mendaki saat di hutan saja nanti, ternyata saya sudah start dari jalan kuning!

Belum nyampai desa ini! Tsk tsk tsk KZL!!!

Akhirnya kami baru sampai desa menjelang waktu subuh.

Tidak banyak lagi diantara kami yang ketawa-ketiwi seperti sebelum berangkat, semua terlihat capek dan memutuskan tidur sejenak di rumah kepala desa. Tempat kami nantinya menitipkan motor.

Saya masih dongkol dengan carrier yang begitu berat. Saya memutuskan untuk mengurangi barang bawaan, saya pangkas menjadi cuma bawa 2 baju, 2 celana, handuk, air mineral 1,5 liter, saya udah nggak peduli dengan tas make up, pokoknya saya cuma bekal tisue basah. Di sini saya baru merasakan pesan Gandalf dan belajar untuk tidak egois.

Pukul 06.30

Kami awali dengan doa kemudian mulai memasuki hutan. Di sini saya sangat bersyukur ternyata kita tidak jadi mendaki selagi matahari belum terbit. Yes yes!

Kami yang mulanya hemat berbicara akhirnya mulai mengobrol satu sama lain. Dalam rombongan ini, saya adalah yang paling minoritas, hanya kenal dekat dengan bang Ian dan Aan.

Perjalanan mendaki membuat kami mulai mengenal satu sama lain. Obrolan membuat capeknya pendakian hampir tidak terasa, juga mengurangi rasa takut ketika bertemu rintangan.

Namun ini tidak berlangsung lama.

Saya betul-betul syok ketika melihat kak Eka kena hinggapi pacet. Organisme ini tak pernah saya perkirakan akan menghantui jalannya pendakian. Pikiran saya justru sibuk mengingat-ngingat perjalanan ini mirip seperti adegan dalam film Anaconda. Hadehhh.

Setelah drama pacet itu, saya akhirnya perbanyak sambat dzikir. Ke depan inilah yang menjadi keparnoan saya, sehingga beberapa malam berikutnya saya masih mengigau dihinggapi pacet. Huhuhu~

Rintangan ekstrim lain yang harus kami lalui adalah saat melewati medan bekas terjadinya longsor. Jalan setapak udah nggak keliatan, licin, dimana-mana pohon tumbang.

Saya melewati sebatang pohon yang dijadikan
jalan penghubung di daerah bekas terjadinya longsor


Pokoknya perjalanan ini tidak seasyik seperti menyanyikan lagu ost Ninja Hatori.

Mendaki gunung lewati lembah

Sungai mengalir indah ke samudera

Bersama teman bertualang

Tempat yang baru belum terjamah

 

Beda kabeh, Lurrr!

Dalam petualang itu saya beberapa kali terpeleset, kena gores duri pohon, dan terkilir. Saya bisa terkilir karena otot dan mental saya nggak jalan seirama. Saya tidak bisa berkata apa-apa ketika di depan sana melihat kawan-kawan rombongan depan sudah menanti kami di bebatuan di antara aliran sungai yang deras, sepertinya jalan setapak berikutnya ada di seberang sungai ini. Rasanya ingin kabur namun malu sama ketangguhan teman-teman, terpaksa dalam waktu kurang dari 5 menit, saya harus membangun mental yang sempat anjlok.


Saya minta carrier saya dibawakan oleh Tegar. Ya Allah ternyata saya menjadi lebih ringan dan ini menjadi boomerang tersendiri ketika melewati arus. Tongkat yang sedari tadi menemani saya sudah hanyut. Apakah berikutnya saya? Begitu pikiran jelek yang menghampiri saya. Bang Ian sudah mewanti-wanti dan mengarahkan untuk menginjak batu yang ini, yang itu, dan yang ini. Namun sepertinya hal semacam itu tidak bisa saya cerna sama sekali. Akhirnya dia menyusul dan membantu saya menyebrang.


Ketika saatnya melanjutkan pendakian, saya mendapati kaki ini tiba-tiba tidak bisa melangkah dengan normal. Saya cemas sekali, di sisi lain saya tidak enak merepotkan orang-orang lagi. Untungnya saya diberikan pertolongan pertama oleh Yoga sebelum benar-benar parah. Huhuhu~


Setelah hampir 5 jam pendakian, saya mendapati teman-teman sudah mendirikan tenda. Ternyata saya harus menyebrangi sungai lagi, namun kali ini saya lebih berani.

Cepetan, Ta! Masuk tenda, ganti baju! Hahaha.

Tenda kami berdiri tidak jauh dari Air Terjun Bedawat. Namun riamnya masih belum keliatan, karena harus berjalan beberapa meter lagi ke belakang.

Saat itu hujan gerimis, debit air kelihatan semakin kencang dan tambah deras.

Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak, memasang perlengkapan safety di sekitar area kami tidur, kemudian bersiap-siap masak.

Ilham, dia adalah ahli api unggun yang bertelanjang dada dalam kelompok camping kami. Saya heran sekaligus salut sama junior yang satu ini, mungkin angin yang justru takut sama dia. Hahaha.

Salah satu menu paling dahsyat yang disiapkan Kak Eka adalah ayam. Blio bekal ayam yang sudah diungkep. Iya saya tidak ngawur, Nder. Ide dari Kak Eka inilah yang menyelamatkan pencernaan saya. Sungguh nikmat ayam yang digoreng saat itu. Happyyy

Malampun tiba, lepas waktu isya, saya tidak berlama-lama di luar dan langsung menuju tenda. Menyelamatkan diri dari semut-semut merah yang berkeluaran dari sarangnya, ternyata persis dekat tempat kami mendirikan dapur. Saya juga takut setelah melihat lintah gede jatuh dari atas pohon. Tadi sore jilbab saya juga dihinggapi pacet. Ih pokoknya saya takut, geli, mental saya paling tidak siap dengan kehadiran pacet. Sedihhh

Di dalam tenda, ternyata saya masih belum bisa tidur padahal sudah sangat capek. Sepertinya tingkat kewaspadaan saya yang meningkat justru menghalangi saya beristirahat dengan tenang.

Ohiya, hanya wanita yang dapat privilage tidur di dalam tenda, para pria terpaksa tidur di luar beralaskan matras, sleeping bag, sambil ditemani sarung. Terimakasih ya gais. Terharuuu

Keesokan Harinya

Setelah sarapan, kami baru bergegas melihat Air Terjun Bedawat.

Sejauh ini memang Bedawat adalah air terjun terindah yang pernah saya temui.

Namun dunia internet telah mengacaukan impresi saya. Saya memang merasa senang tapi kok sekaligus B aja gitu ketika melihat air terjun ini secara langsung. Mungkin karena saya kebanyakan searching mengenai Bedawat lewat instagram. Atau kenapa ya saya? Hahaha.

Saya justru lebih asyik memperhatikan aksi dan tingkah kawan-kawan, berpose.

Camera iphone punya Mahmud jadi tumbal saat itu. Hahaha.

Tim SLB (Seribu Langkah Borneo)
Pulang

Saya sudah terpeleset lagi ketika melompati bebatuan yang ada di sungai. Namun saya tidak risih lagi saat itu, saya nggak sabar aja mau cepet pulang sampai. Hahaha.

Tips. Oiya kalian harus memastikan barang bawaan di dalam tas sudah dibungkusi plastik yang aman, sebab perjalanan ke sini melintasi dua sungai.

Walaupun kami beranjak dari Riam Bedawat saat tengah hari, namun hutan selalu menyajikan kesegaran dan aroma oksigen yang tidak dimiliki oleh kota. Saya begitu menikmati perjalanan pulang yang sejuk dan penuh kedamaian.

Kali ini orang yang berada di depan saya adalah Andi. Salah satu junior yang tidak kalah kocak. Andi dihinggapi beberapa pacet persis di depan mata saya. Kali ini saya malah ketawa-ketawa aja di atas penderitaan dia.

Ada yang bilang “hutan udah kenal kita” mungkin itu berlaku bagi saya namun tidak bagi Andi. Kelihatannya penghuni hutan masih belum ramah dan betah menggerayangi dia. Hahaha.

Singkatnya, kami sudah berjalan selama lebih dari 3 jam, beberapa ada yang di depan, sebagian di belakang. Saya, Diana dan Yoga berada di rute tengah.

Saya melihat Diana agak pucat dan meminta tolong Bang Jago alias Yoga membawakan tasnya. Teman baru saya yang ternyata lulusan fakultas kehutanan Universitas Tanjungpura ini emang serba dan sakti mandraguna. Sudah lebih dari 5 julukan dia peroleh karena kemampuan di luar orang normal yang blio miliki, ngebawain dua carrier, nebas semak-semak supaya kami lebih mudah lewat, entahlah apa lagi yang luput dari yang saya lihat. Nah, kali ini dia membawa satu kantong barang miliknya sendiri ditambah tas Diana dengan ditopang sebatang kayu. Persis banget kaya adegan lawas dah. Wkwkwk.

Hampir pukul 18.00, kami berhasil menginjakkan kaki di atas jembatan gantung ikonik milik Desa Dange Aji. Gagah betul ketika melintas di sana, kami tidak terombang-ambing seperti kali pertama melewatinya. Kami hampir menyamai murid-murid kung fu yang berhasil menyelesaikan berbagai rintangan. Kalau dalam adegan mereka menjingjing ember berisi air, sedangkan kami menggendong carrier. Hahaha.

 Pukul 20.00

Setelah berberes, kami pamit pulang dengan keluarga dari kepala Desa Dange Aji. Rombongan motor kami perlahan-lahan meninggalkan desa dan mulai menembus gelapnya malam.

Cuaca tidak begitu ramah kepada kami, hujan perlahan-lahan mulai turun, dan semakin deras. Namun kami tetap haru melanjutkan perjalanan karena besok sudah masuk kerja, kami harus sampai Pontianak apapaun rintangannya.

Tanpa disangka perjalanan pulang benar-benar lebih berat. Tanah kuning menempel mantap di pakaian, taplak sepatu dan kendaraan kami. Beberapa motor harus melepas spakbor depan agar meminimalisir tanah kuning yang menghambat roda berputar.





Saya berboncengan dengan Amar kali ini, karena saya perkirakan kondisi motor Rangga sedang amat tidak memungkinkan untuk bergoncengan. Saya juga tidak mau mengulang, menggendong tas Rangga seperti di awal perjalanan.

Saya mungkin terkesan egois saat itu, hanya saja saya harus perform dan bekerja besok, saya tidak ingin babak belur.

“Jangan turun kakinya ya, Kak!” pesan Amar mengingatkan agar dia tidak oleng melewati jalan bubur itu.

Satu-satunya cara untuk mematuhi instruksi Amar adalah dengan memejamkan mata dan berlakon seolah menjadi paket yang siap diombang-ambing sama kurir.

Sayangnya, perasaan was-was saya tidak mudah dijinakkan saat itu, sesekali saya mengintip kondisi jalan kampret itu. Saya sebenarnya udah nggak betah, pengen turun, cuman karena respek sama Amar jadinya saya bungkus dengan kalimat tanya “Mar, turun kah ni?” ckckck.

***

Kita masih harus mendaki, batin saya menyemangati

Anehnya, saya justru besyukur akhirnya bisa berjalan dibandingkan kena gonceng, sebab kepala saya jauh lebih pusing, pikiran saya tidak terkendali membayangkan jatuh dari motor.

Saya terus berjalan, hampir tidak sama sekali menggerutu sebelum akhirnya saya menyadari tidak ada satupun dari kami yang membawa bekal air untuk diminum. Kami sudah jumawa tanpa mempersiapkan plan B jika terjadi hal buruk saat perjalanan dan rasakanlah ini… Surprise maderf*ker !!!

Kalau selama mendaki gunung, kami leluasa mendapatkan minum dari setiap mata air yang dilewati, namun sekarang hanya ada air hujan dan lumpur.

Kami hanya diliputi hujan dan kegelapan, dan tak mungkin meninggalkan teman.

Saya diisyaratkan untuk tetap berjalan mendaki ke depan, sampai akhirnya saya menemukan Bang Ian dan Diana.

Walaupun tidak lewat voting resmi, saya menerka-nerka Bang Ian, sebagai kepala jalan pasti menjadi orang yang paling pusing dan khawatir memikirkan nasib kawan-kawan yang terjebak di belakang.

Setelah memastikan saya sampai dan menemani adiknya, blio jalan menyusul teman-teman yang tertinggal.

Walaupun berdua, namun perasaan takut tidak lantas memudar dalam benak saya.

“Rasa takut ini ternyata membuat pendengaran kakak makin tajam ya, dek,” ucap saya pada Diana. Saya merasakan saat itu seperti ada yang turun dari semak-semak.

Apakah itu babi hutan? Atau? Entahlah, saya tidak mengharapkan keduanya.

“Kak, apa tuh kak?” tanya Diana tiba-tiba. Saya tidak curiga Diana sedang menakut-nakuti saya karena dari raut wajahnya sama sekali tidak dibuat-buat.

Saya menoleh ke belakang dan mendapati satu cahaya mirip kunang-kunang.

“Udahlah, anggap aja kunang-kunang, Dek!” kata saya lebih kepada menenangkan diri sendiri.

Saya sebenarnya curiga Diana ini punya kemampuan lain. Diana terlihat jelas tidak sedang mengiyakan kalimat saya yang denial itu. Untuk saat ini rasa takut masih mengalahkan rasa penasaran saya terhadap Diana.

Saya tiba-tiba melihat cahaya putih melayang agak tinggi tidak jauh dari tempat kami berdiri. Spontan saya bertanya apa itu pada Diana.

“Pokoknya apapun yang lewat anggap aja kunang-kunang, kak!”

Pokoknya apapun yang lewat? Nah tu kan bener asumsi saya tentang Diana!

Oke, aku di sini berdua aja sama Diana yang bisa melihat hal yang nggak bisa aku lihat. Oke, what could be worse, God?

Untungnya, ada Yoga bersama Aan dan Rangga yang segera datang.

Saya, Diana, dan Aan diminta terus jalan ke depan. Dari sini sudah kelihatan ada cekcok diantara temen-temen cowok.

Saya cuma bisa berdoa semoga kawan-kawan tidak sampai tersulut emosi.

Kami bertiga terus berjalan sampai akhirnya melihat cahaya yang berasal dari lampu handphone, yang ternyata milik Andi.

“Aku lebih milih bejalan daripada naik motor,” ketusnya sebelum benar-benar sampai mendekati kami.

Sekali lagi saya tertawa geli di atas penderitaan Andi. Saya sampai berfikir mungkin kalau tidak ada Andi, perjalanan akan jadi kurang seru. Siapa lagi yang bisa bikin saya ketawa tanpa perlu mengobjekkan orang lain sebagai bahan. Andi seperti komedian yang tampil apa adanya. Wkwkwk.

Pukul 22.00

Kami masih belum keluar dari situasi yang serba sulit ini. Bahkan kami mendapati motor Tegar dan Amar tidak bisa hidup alias mogok.

Selanjutnya yang diminta jalan terus ke depan adalah Yoga, Mahmud, dan satu cewek.

Saya, Diana, dan Uli saling berpandangan dan tentu saja saya yang harus ikut walaupun di depan kami masih belum tau bisa menemukan apa? Atau bisa terjadi apa?

Hujan juga masih belum menyerah untuk menemani kegoblokan perjuangan kami.

***

Saya sudah berkali-kali melihat Mahmud turun tanpa alas kaki mendorong motor dengan susah payah dan sepenuh hati.

Saya tidak lagi tertawa meledek, atau terkesan, pokoknya saya tidak merasakan apa-apa.

Hingga kemudian hal paling tidak diinginkan terjadi. Bagian CVT Motor Rangga terbakar.

***

Saat itu sekitar pukul 00:00 saya dan Rangga dengan berat hati melepas kepergian Yoga dan Mahmud, masih berharap menemukan bala bantuan di depan sana.

Kalau diakumulasi ternyata kami sudah terjebak selama 4 jam di tanah kuning becek ini.

Saya dan Rangga terjebak dalam dilema harus berjalan maju atau kembali ke belakang.

“Kalau ke depan kita nggak tau harus jalan berapa lama lagi kak, sedangkan jika ke belakang kita akan kembali sama teman-teman yang lain dan ada sumber air di dekat sana,” begitu analisis Rangga.

Saya menyetujui dengan pertimbangan untuk menunggu dulu  kedatangan Yoga dan Mahmud selama setengah jam ke depan.

Pukul 00:30 Yoga dan Mahmud tidak kunjung kembali, sehingga Saya dan Rangga memutuskan pergi dengan meninggalkan motor di pinggir jalan.

Kami tidak takut dengan perkara gaib untuk kali ini, kami justru lebih takut jika ada orang asing yang muncul dan berniat jahat.

Saya beruntung memegang tas slempang milik bang Ian dan menemukan di dalamnya terdapat pisau. Pisau itu kami gunakan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

***

“Kak, kakak minum dulu, kak!” kata Aan sewaktu mendapati kedatangan saya dan Rangga sambil sempoyongan.

Tanpa terasa kami sudah berjalan di bawah hujan deras selama 30 menit.

Inilah sumber air yang menyelamatkan kami dari dehidrasi. Hanya air biasa, semacam kali, namun cukup jernih.

Pada saat yang sama Aan memutuskan untuk mendirikan tenda darurat.

Disitu ada saya, Diana, Uli, Andi, dan Aan. Tidak lama kemudian Bang Ian datang. Raut wajahnya mengisyaratkan kita memang akan bermalam di sini. Artinya beralaskan tanah kuning, ditemani nyamuk yang kelaparan, dan ekstra laron!

Saya pernah mendengarkan suara hujan sebagai musik relaksasi sebelum tidur. Namun hujan panjang malam ini terasa mengancam, kapan saja bisa mencabut nyawa saya. Saya berada di titik pasrah sekaligus frustasi saat itu.

***

What could be worse?

Entah temperatur di luar yang turun secara drastis atau suhu tubuh saya yang menurun tajam, tapi saya merasakan menggigil yang tidak biasa.

Saya juga mendapati gerak gerik yang sama pada teman-teman, terkecuali Aan.

Saya iri betul melihat dia bisa tidur nyenyak kapanpun dan di situasi apapun.

Kemudian saya melirik Andi yang kelihatan gusar dan menyelutuk “Ya Allah sejuknye!”

Saya kasihan melihat dia sudah tidak beralaskan sendal, cuma pakai kaos dan celana pendek, pun habis dari semak motongin bambu untuk tenda.

Sekali lagi saya tertawa namun jiwa survival saya bangkit dan mencari cara keluar dari mimpi buruk ini.


Saya khawatir ini gejala awal hypotermia. Jadi saya memutuskan untuk tetap bergerak, berjalan mondar-mandir, apapun itu. Saya mengira dengan menggerakkan badan akan membuat suhu tubuh saya sedikit naik, namun dengan resiko kalori saya yang akan berkurang. Tidak apa-apa, sekarang sudah jam 3.30, sebentar lagi matahari akan terbit. Warga desa akan melewati jalan ini dan kami bisa meminta bantuan.


Gerak-gerik saya yang tidak jelas itu menarik perhatian yang lain, dan membuat salah satu diantaranya bersuara untuk mencari korek, atau menghidupkan kompor portable kami.


Sialnya kompor portable ada tapi tidak dengan ceretnya. Akhirnya saya, Diana, dan Andi inisiatif mengumpulkan dedaunan untuk membuat api unggun. Saya sangat berharap keajaiban bisa muncul, agar api ini bisa menyala di dedaunan yang masih lembab. Oh, astaga, saya sampai rela merobek jilbab yang sedang dikenakan untuk memancing api itu hidup lebih lama, tapi saya merasa sangat bodoh dan frustasi karena ini tidak berhasil.


Tiba-tiba datang sesosok orang dengan badan yang tinggi menghampiri kami, saya kira malaikat maut ternyata itu Amar. Dia membawakan air hangat dari tempat yang terpisah dari kami sejauh 200 meter.


“Ya Allah makasih banyak, Mar!”


Selepas memberikan kami satu teko air hangat, dia buru-buru pergi kembali menghampiri Tegar yang berjaga sendirian di belakang.

***

Pagi tidak pernah seindah hari ini, begitu saya membatin. Ternyata saya masih hidup dan tertawa getir bersama teman-teman. Hahaha.

Tegar dan Amar berhasil menyusul kami dengan membawa motor mereka yang sudah kembali pulih.

Saya, Diana, dan Uli disuruh tetap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saya merasa tersiksa kali ini, asam lambung saya udah protes, energi saya sudah sangat berkurang akibat aktivitas tadi subuh, langkah saya terasa berat dan hanya dapat berjalan dengan pelan.

Uli menawarkan roti yang tersisa dalam tasnya, namun kami memutuskan untuk tidak memakannya terlebih dahlu. Belum ada perhitungan waktu yang jelas apakah di depan sana akan menemukan rumah warga.

Memang sudah dua kali kami mendapati warga desa yang lewat, dan mengatakan “Oh, ndak sampai 1 jam lagi ada desa, dek.”

Kami sudah kebal dan hanya bisa tersenyum mendengar kalimat “sejam lagi, ndak lama lagi” Astaga, perkataan Einsten tentang waktu itu relatif bukan berlaku dalam ruang angkasa saja! Sejam bagi warga desa, bisa berarti 3 jam buat kami!

***

“Mahmud, Yoga, kenapa kalian meninggalkan kami? Kalian Tega!” Teriak Saya. Saya sudah mulai tidak waras.

“Kenapa Indomie harus kita habiskan!” lanjut saya.

“Saya ingin burger, KFC!”

Entahlah apa yang dipikirkan Diana dan Uli melihat keanehan saya. Tapi sepertinya mereka menyoraki dan melanjutkan dengan kalimat-kalimat protes serupa. Wkwkwk.

Akhirnya kami menemukan sebuah rumah dan memutuskan untuk memakan roti.

“Isitirahat makan tidak pernah terasa semewah ini”

Dari ujung jalan,  kami mendengar suara motor yang aneh, semacam suaru perahu dengan bahan bakar diesel. Ternyata itu Yoga!

Tanpa salam hangat, kami bertiga protes membabi buta kepada Yoga. Namun dengan sisa akal sehat kami akhirnya bisa mengerti kenapa dia dan Mahmud tidak bisa kembali menyusul kami.

Mahmud dan Yoga ternyata tidak berhasil menyusul rombongan depan dan terpaksa berteduh di desa ini, yang ternyata namanya Dusun Pengkadik.

***

Kawan-kawan sudah susah payah membopong motor Rangga sampai di rumah seorang Bapak tempat Yoga dan Mahmud beristirahat sementara.

Bapak ini menyediakan kami pisang, kue roma, dan air putih, itu saja rasanya seperti sajian berkelas.

Kami juga makan besar dengan lauk mie goreng, ditutup dengan rujak nanas.

Satu pertanyaan besar masih menghantui kami semua, “Bagaimana membawa motor Rangga sampai ke Ngabang?”

Ini merupakan dilema, kami seharusnya sudah kembali bekerja malah belum pulang sampai tanggal 8 Maret ini. Kami terpaksa membuat keputusan meninggalkan Yoga, Aan, dan Rangga dengan pulang duluan ke Pontianak.

Kami pulang dengan berat hati sambil berdoa rencana mereka dipermudah dan solusi mereka berjalan dengan mulus.

Kami beranjak dari Ngabang sudah dekat magrib, suasana perjalanan sangat berbeda jauh ketika kami berangkat. Ada perasaan lega namun juga perasaan bersalah. Semua itu menjadi kesan tersendiri buat saya. Lamunan saya terhenti ketika Amar bertanya “Gimana kak mau traveling lagi?”

Untuk saat itu saya masih menjawab “Gak dulu, Mar. Masih jera!”

Sekian

Malam-malam ketika saya berbaring di dalam kamar, saya lebih sering teringat momen kebersamaan dengan teman-teman traveling di sini, terlebih saat kondisi sulit di jalanan kuning. Salah satu soundtrack yang disematkan Tegar dalam postingan tentang perjalanan kami yaitu Unbroken dari MVSE feat. Luma, telah mempercepat metamorfosis saya. Saya bukan orang yang sama lagi, saya lebih kuat, saya tidak mudah terpatahkan lagi, physically, mentally, and emotionally. Setelah perjalanan ke Serimbu ini, saya jadi agak meremehkan wisata level pantai, hahahaha. Peace! Terimakasih banyak semuanya.



Older Post Home

1 comment: