Cerita tentang seseorang yang mencintai dengan diam selalu
punya 2 peluang mengenai takdir cintanya, berlabuh ke kenangan atau pelaminan.
Banyak sudah kata mutiara yang mencoba untuk menyadarkan si secrete admirer,
tinggalkan atau perjuangkan.
Mungkin kau pernah dengar cerita tentang seorang cowok
pintar+ganteng di sekolah menjadi idaman banyak gadis. Atau mungkin kau pernah
mengalaminya ? Well, ku kira kita sama, aku sedang mengalaminya. Aku tak
sanggup lagi menyimpan cerita ini dalam hati dan pikiranku. Hehe. Tahukah kau, bagaimana
rasanya sumpek di kepala ? Hal semacam ini menyebabkanmu kehilangan
keseimbangan sewaktu-waktu. Aku tidak ingin cerita ini kusut bersama pemikiran
tentang tugas, organisasi, dll. Itulah mengapa aku ingin menuliskannya.
Cerita ini dimulai 4 tahun yang lalu. Seantero sekolah
berbicara tentang kepintaran si doi. Pertama kali aku melihatnya, aku melihat
mata yang tajam itu. Tajam sekaligus penuh kelembutan. Aku mencintai ilmu
pengetahuan dan tentu saja cowok pintar menjadi salah satu pusat perhatianku,
dan dia memang mengagumkan.
Namun, kami harus berpisah karena doi telah tamat sekolah.
Tanpa ku sadari, aku terus mengikuti perkembangan karir si doi. Selalu semakin
mengagumkan dan semakin bersahaja. Aku bersyukur dengan segala kecanggihan
teknologi komunikasi yang memudahkanku mengetahui kabar si doi. Terlebih, doi
cukup aktif di jejaring sosial. Akhirnya, ku beranikan diri berbicara dengannya,
untuk yang pertama kali, melaui chatting fb.
Waktupun berlalu, aku masuk ke universitas yang sama
dengannya namun berbeda jurusan. Aku tidak pernah mengira bahwa dunia
perkuliahan akan sepadat ini. Aku tak punya banyak waktu untuk nonton film,
membaca novel, termasuk mendengar kabar tentangnya. Aku bertemu dengan banyak
teman, dan beberapa cowok rapi berkemeja, menggunakan sepatu pantopel, yang
merupakan gaya khas mahasiswa jurusan keguruan. Aku menyukai style ini namun
aku tidak menemukan jiwa yang cukup tulus diantara cowok yang mampir dekat
denganku.
Tak lama setelah itu, aku melihat doi dalam beranda facebook
ku. Kali ini berita tentang ulang tahunnya. Ternyata aku hanya berbeda 1 tahun
dengan usianya, namun beda 2 tingkat dalam kelas. Aku mengucapkan selamat
padanya. Aku tersenyum membaca balasan darinya dan sejenak berfikir, bolehkah
aku menjadi pendampingnya? Aku ragu namun aku tak pernah mau ketinggalan berita
tentangnya lagi, tidak hanya sekedar tentang prestasi yang ia raih, tapi
kehidupan pribadinya. Apapun yang aku lakukan ini telah membuatku menjadi
mata-mata terhebat mengenai kehidupannya namun tak cukup hebat menarik
perhatiannya. Karena, aku, aku berusaha ikhlas mencintainya, aku tak mau
berharap reaksi spesial darinya, aku ingin semua berjalan sesuai kehendak
Tuhanku. Aku ingin menjadi lebih baik sembari bercontoh pada kepribadian si
doi.
Pada suatu saat, aku takut perbuatanku ini salah, sampai aku
memutuskan untuk menjauh darinya. Namun, semua hal yang melibatkannya datang
kepadaku. Membuatku sampai bertemu lagi dengannya, membuatku dapat berbicara
langsung di hadapannya, membuatnya mengingatku bahkan namaku. [Part 1]
Pagi itu
aku berpapasan dengan seseorang
aku melihat matanya seindah matahari terbit
aku bisa melayang jika gravitasi mengizinkanku
jarang sekali bisa melihatnya dalam situasi santai
aku kira aku hanya bisa melihatnya dalam seminar
...
Aku masih mengharapkanmu
Aku tahu, aku semakin dekat dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan sahabatnya. Aku semakin banyak tahu secara tidak langsung, hal-hal yang akan ia kerjakan bersama dengan sahabat karibnya. Aku bisa pahami betapa banyak orang-orang sekitar yang mencintainya, betapa baiknya ia menjadi seorang teman. Aku beruntung bisa berada dekat dengan teman dekatnya, Islam mengajarkanku untuk menilai sesorang melalui teman terdekatnya. Kendati begitu, aku tak pernah mengerok informasi tentangnya melalui sahabatnya ini. Aku tak punya keberanian untuk bertingkah kejauhan. Aku lebih baik memanfaatkan dunia maya untuk menjangkaunya.
Belakangan ini, aku melihatnya sedang gusar masalah skripsi. Aku merasakan kesedihannya melalui status di bbm nya dan hari dimana ia tidak tahu kepada siapa harus melabuhkan kesedihan, aku berpikir keras bagaimana kalimat yang pantas untuk menghiburnya. Aku masih berharap ada orang yang lebih pantas untuk menghiburnya sembari terus menunggu keadaannya memulih melalui statusnya. Tapi, yang ku dapati hanya status seperti orang yang putus asa. Aku seperti mendengar suara minta tolong yang meronta dan membuatku gelisah sepanjang perjalanan pulang ke rumah, dan aku langsung mulai mengetik tombol touch screen di layar Hp ku dan memberanikan diri untuk menghiburnya. Aku hanya mampu mengiriminya pantun nasehat yang berkenaan dengan hari Jumat. Ia mengalami kesedihan yang seharusnya ia sandarkan pada Allah makna dibalik kesulitan itu, terutama ini hari berkah dan spesial, ia tak boleh sedih berlarut-larut. Tak lama setelah itu, aku melihatnya mulai membaik dan menyerahkan semua keputusan kepada Allah. Aku tahu, pada titik ini ia istiqomah untuk tawakal.
Belakangan ini, aku melihatnya sedang gusar masalah skripsi. Aku merasakan kesedihannya melalui status di bbm nya dan hari dimana ia tidak tahu kepada siapa harus melabuhkan kesedihan, aku berpikir keras bagaimana kalimat yang pantas untuk menghiburnya. Aku masih berharap ada orang yang lebih pantas untuk menghiburnya sembari terus menunggu keadaannya memulih melalui statusnya. Tapi, yang ku dapati hanya status seperti orang yang putus asa. Aku seperti mendengar suara minta tolong yang meronta dan membuatku gelisah sepanjang perjalanan pulang ke rumah, dan aku langsung mulai mengetik tombol touch screen di layar Hp ku dan memberanikan diri untuk menghiburnya. Aku hanya mampu mengiriminya pantun nasehat yang berkenaan dengan hari Jumat. Ia mengalami kesedihan yang seharusnya ia sandarkan pada Allah makna dibalik kesulitan itu, terutama ini hari berkah dan spesial, ia tak boleh sedih berlarut-larut. Tak lama setelah itu, aku melihatnya mulai membaik dan menyerahkan semua keputusan kepada Allah. Aku tahu, pada titik ini ia istiqomah untuk tawakal.
Waktu terus bergulir menguji kecintaanku padanya. Aku tahu, tidak ada reaksi khusus darinya untukku akan segala perhatian yang telah ku curahkan. Kesimpulannya, tidak pernah ada kemajuan dalam hubungan kami. Namun, aku masih berusaha memberikan signal itu, seperti mengucapkan selamat karena telah melewati sidang akhir skripsi, dan selamat ulang tahun. Dan kali ini, benar-benar tidak ada respon. Sebagai seorang gadis, aku cukup peka dengan rasa ini, rasa tidak diperdulikan sudah menggoyahan harga diriku.
Aku terus menyelam ke dalam diriku dan memunculkan banyak perkelahian dalam diri.
"Bukannya aku terlalu sombong untuk menentukan jodohku?"
"Bukannya jodoh harus diusahakan?"
"Harga dirimu sebagai seorang muslimah?"
"Kalau bukan kamu yang menghapus kesedihannya, siapa lagi?"
dan pertanyaan besarnya adalah "Sudah cukup pantaskah aku dengannya?" "Dia begitu dikagumi penduduk bumi, bakan mungkin juga langit, sedangkan aku, aku masih sering melupakan-Nya"
"Bukannya jodoh harus diusahakan?"
"Harga dirimu sebagai seorang muslimah?"
"Kalau bukan kamu yang menghapus kesedihannya, siapa lagi?"
dan pertanyaan besarnya adalah "Sudah cukup pantaskah aku dengannya?" "Dia begitu dikagumi penduduk bumi, bakan mungkin juga langit, sedangkan aku, aku masih sering melupakan-Nya"
Kali ini, logika benar-benar menguasai hasratku. Aku memutuskan untuk membangun tembok itu, tembok yang lebih tebal dari dinding tembok cina, yang menjadi hijab hatiku untuknya.
Pada malam ini, aku berharap pada Allah, yang Maha Membolak-Balikkan Hati
"Ya Allah, jika urusan ini baik bagiku, Agamaku, Kehidupanku,
"Ya Allah, jika urusan ini baik bagiku, Agamaku, Kehidupanku,
dan akhir urusanku, maka takdirkanlah ia untukku dan
Mudahkanlah, kemudian berkahilah aku dengannya.
Sebaliknya, ya Allah...
jika urusan ini buruk bagiku, Agamaku, Kehidupanku,
dan akhir urusanku, maka jauhkanlah urusan ini dariku,
dan jauhkanlah aku darinya.
dan jauhkanlah aku darinya.
Dan tetapkanlah bagiku urusan yang baik dimanapun adanya,
kemudian jadikanlah aku rida dengan ketetapanmu itu."
kemudian jadikanlah aku rida dengan ketetapanmu itu."
0 komentar: