Oleh Yunita Kusumawardani
Mahasiswa Pendidikan Kimia FKIP Universitas Tanjungpura
F02112044
Kimia merupakan salah
satu mata pelajaran yang harus diajarkan atau dipelajari dari usia dini sampai
tua. Mengapa demikian? Karena kimia selalu berdekatan dengan kehidupan dan kita
adalah bagian darinya, contoh kecilnya adalah bernafas. Kita menghirup oksigen
dan menghembuskan karbon dioksida selama hidup.
Di dalam ruang lingkup
sekolah, kimia lebih dikenal dengan mata pelajaran yang mempelajari unsur-unsur dalam tabel sistem periodiknya.
Unsur itu dipelajari dari karakteristik kimia dan fisiknya, keterkaitan satu
unsur dengan lainnya, sampai pada matematisnya. Contohnya, masakan Ibu tidak
akan enak jika bumbunya tidak sesuai takaran. Dalam hal ini, Ibu melakukan pola
yang diajarkan kimia secara tidak langsung. Ibu akan menambahkan garam
secukupnya ke dalam suatu masakan agar konsentrasi garam tidak terlalu pekat
dalam masakan dan mempengaruhi cita rasa suatu makanan. Walaupun kimia sangat
dekat dengan kehidupan, tapi miskonsepsi dalam memahami kimia sering kali
terjadi. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan kita akan ruang lingkup
kimia. Menurut Euwe Van den Berg miskonsepsi merupakan pertentangan atau
ketidakcocokan konsep yang dipahami seseorang dengan konsep yang dipakai pakar
ilmu yang bersangkutan. Miskonsepsi itu biasa dialami siswa bahkan guru.
Di dalam dunia
pendidikan, kimia sudah dikelompokkan menjadi sub-sub bab agar materinya lebih
mudah dipahami. Namun, hal ini tidak berjalan sesuai harapan sampai pemerintah
memutuskan perubahan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menjadi
kurikulum 2013 yang bersifat tematik integraif dimana kimia akan diintegrasikan
ke bidang studi tertentu. Kurikulum dahulu dirasa membatasi kemampuan observasi
dan menghambat daya nalar siswa, misalnya, siswa diajarkan materi hidrokarbon.
Hidrokarbon mempelajari suatu senyawa yang terdiri dari unsur karbon (C) dan
Hidrogen (H). Di dalamnya menyajikan reaksi bagaimana proses pembakaran senyawa
hidrokarbon, persamaan reaksinya adalah sebagai berikut :
CH4 + 2 O2
→ 2 H2O + CO2 + Energi ......... (1)
Jika pendidik hanya mengikuti pola
kurikulum yang menuntut sesuai dengan tujuan sub materi yang diajarkan maka akan
mengurangi tingkat efisiensi nalar seorang siswa. Padahal jika sekaligus
dijelaskan bahwa ada materi redoks maupun stoikiometri di dalamnya, siswa
menjadi individu yang lebih observatif. Di dalam persamaan (1), perubahan
bilangan oksidasi atom C dari -4 menjadi +4 dan perubahan bilangan osidasi atom
O dari 0 menjadi -2 merupakan materi redoks dan jumlah energi yang dihasilkan merupakan
stoikiometri.
Memang benar pendapat para
ahli pendidikan yang memaparkan bahwa hal terpenting yang dibawa ke ruang kelas
oleh setiap siswa sebelum memulai pelajaran adalah konsep-konsep yang telah
mereka miliki dan kuasai sebelumnya. Miskonsepsi yang terjadi di dalam ruang
lingkup kimia dapat terjadi akibat konsep dalam kimia bersifat abstrak atau
tidak tampak bahkan buku yang menjadi sumber belajar atau literatur menyajikan
pembahasan yang keliru. Tidak jarang ditemukan lembar kegiatan siswa yang lebih
dikenal dengan LKS memaparkan materi pergeseran kesetimbangan yang keliru.
Sehingga persoalan seperti penambahan gas CS2 ke sistem kesetimbangan CS2 (g)
+ 4H2 (g) ⇌ CH4 (g) + 2H2S (g) pada tekanan dan suhu
konstan mengalami pergeseran kesetimbangan ke reaktan ataukah produk? Banyak
siswa yang terbalik dalam memahaminya. Seharusnya mengalami pergeseran ke arah
produk justru siswa memahaminya ke arah reaktan. Materi eksoterm dan endoterm
juga mengalami hal yang demikian.
Persoalan tadi masih
mudah diluruskan. Namun, beberapa cara menyesatkan guna mempermudah pemahaman
siswa dirasa sangat miris dalam dunia pendidikan seperti teori atom yakni atom
memiliki elektron yang mengelilinya layaknya planet mengelilingi matahari,
padahal elektron tidak memiliki pola melingkar yang sederhana untuk
mengelilingi inti. Memang siswa akan diberitahu keadaan atom sebenarnya pada
tingkatan kelas yang lebih tinggi, namun adakah manfaat menunda memahami
kebenaran? Padahal, siswa harus mengikuti informasi perkembangan ilmu
pengetahuan secara terkini dan aktual.
Selanjutnya,
konsep-konsep kimia yang “abstrak” dengan memanfaatkan kekasadan logika memang
dapat menimbulkan miskonsepsi yang sangat nyata. Karena abstrak lantas
diabaikan? Tidak, jangan demikian. Memahami kimia yang bersifat abstrak ibarat
mempercayai bahwa Tuhan itu ada walau kita tidak dapat melihat-Nya namun kita
merasakan kehadirat-Nya.
Kimia sebagai mata
pelajaran dengan karakteristik yang lebih banyak pada dunia mikroskopis, berupa
mempelajari atom-atom sebagai unit terkecil penyusun materi sebenarnya
memberikan sumbangan bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Banyak sekali
bidang-bidang yang ditekuni oleh manusia yang berkaitan dengan kimia, seperti
industri makanan memerlukan pekerja lab untuk memastikan kelayakan makanan
produksinya. Apakah memenuhi kebutuhan kalori maupun gizi konsumennya.
Kita sadari bahwa
miskonsepsi kimia menyebabkan kesulitan siswa dalam mempelajarinya, untuk itu
perlu diterapkan beberapa cara guna mengatasinya. Dengan memperkenalkan
bagaimana kimia begitu berpengaruh dalam hidup siswa setidaknya dapat menjadi
bekal untuk memahami konsep dasar sebelum masuk ke dalam kelas dengan mata pelajaran
kimia. Melalui pendekatan itu juga diharapkan siswa tidak menganggap kimia
sebagai mata pelajaran yang disegani tapi sebagai mata pelajaran yang dikagumi.
Pendekatan atau interaksi antara siswa dengan guru juga merupakan cara terbaik
untuk meluruskan miskonsepsi siswa. Tanpa interaksi guru tidak akan mengetahui
miskonsepsi siswa.
Yang tidak kalah
crusial mengenai miskonsepsi kimia adalah guru kimia sebagai pelaku utama harus
mengintropeksi pengetahuan kimianya, membandingkan dengan beberapa sumber, dan
membuat kesimpulan. Dengan kata lain, guru harus mempersiapkan sajian
penjelasan sebelum masuk ke kelas agar mengurangi miskonsepsi yang dialami
siswa akibat pengalamannya yang minim akan ruang lingkup kimia.
0 komentar: