Education Tour
Oleh
: Yunita Kusumawardani
(5/2/2015):
Road to Kecamatan Entikong
(22.15
di depan auditorium)
Setelah
dengan khidmat membaca doa pelepasan bagi 64 mahasiswa terpilih yang akan berangkat
menuju Malaysia-Singapura, kami bergegas masuk menuju bus yang telah
ditentukan. Kami berebut masuk bagaikan orang yang takut tidak kebagian kursi.
Perebutan itu terjadi karena faktor psikologi dan fisik yang perlu didukung
oleh kursi terbaik selama perjalanan 6 jam menuju perbatasan negara. Aku
menyebutnya kursi anti mabuk. Aku kalah agresif dengan mereka yang ingin
mengambil kursi itu, kursi yang ada di bagian paling tengah kabin.
Aku
rasanya ingin merengek untuk mendapatkan singgasana. Tapi keberangkatan kami
sudah molor satu setengah jam dari daftar rundown
Mana mungkin aku
merengek kepada panitia untuk mencarikan orang yang mau mengalah dan memberikan
kursi penyelamat bagi seorang motion sickness.
Aku
menyeret langkah berat ke kursi paling belakang.
Paling belakang!
Sudah
ada 3 orang memenuhi bangku belakang. Aku duduk di tengah-tengah. Di sebelah
kiri ada seorang laki-laki berambut panjang dikucir. Di samping lagi ada
seorang yang mengenakan jaket merah, jelana jins yang sedikit jombrang, dan
sepatu kets. Penampilan khas anak tomboy dari seseorang yang ku kenal selama
program AISEC Kalbar, Hong ye, begitu sapaanya dalam bahasa Mandarin. Well, bisa dibilang aku berada diantara
dua orang perkasa.
Dari
pintu masuk bus terlihat seorang panitia muncul membawa platik bening besar
berisi dua lusin kotak makanan. Siapapun tahu aroma khas ayam buatan Harlam
Sanders itu. Dia melewati barisan kursi penumpang dengan sedikit kepayahan.
Tunggu dulu! Apakah dia
akan menitipkan kepada kami yang ada di bagian belakang?
Tanpa
perlu persetujuan dari kami, sambil tersenyum ia berkata, “tolong dijaga jangan
sampai tumpah ya.”
Oh, great!
Supir bus mulai mematikan lampu kabin. Ruangan
tak sepenuhnya gelap karena banyak sumber cahaya dari layar smartphone. Semua sedang membuat status
“Farewell Pontianak!”
***
Aku
tidak sepenuhnya tertidur di bus, aku takut salah memiringkan kepala kepada
lelaki di sampingku, belum lagi kondisi jalan mulai tidak bersahabat. Aku
melihat Hong ye juga masih terjaga dan mengobrol dengan teman yang ada di
sampingnya. Ah, sial! Rasa pusing dan mual mulai datang menyiksaku. Aku coba
alihkan dengan ikut mengobrol dengan mereka.
Hong ye memperkenalkanku dengan
Della yang ternyata teman satu jurusan dengannya, Hong ye menceritakan sedikit pertemuan kami
dan Della menyanjungku karena bisa bergabung dalam kepanitiaan internasional.
“Kau
sebaiknya jangan sampai salah langkah dengan organisasi internasional, tidak
semuanya profesional, pastikan yang merekrutmu juga mampu sebagai pelindungmu,”
saranku padanya.
“Aku
juga tidak terlalu tertarik dengan organisasi, hanya saja aku ingin pintar juga
berbahasa inggris,” katanya sambil tersenyum.
Kami
cepat akrab dengan topik pembicaraan film, mereka gadis manis yang menawarkanku
kue-kue coklat, namun aku tidak sanggup memakannya dengan kondisi setengah
mual. Aku hanya memiliki botol kecil manisan kering yang berisi buah manga
asam, satu-satunya camilan yang bisa masuk ke dalam lambungku. Aku menceritakan
kepada mereka tentang kepayahan kondisi fisikku dan meminta maaf jika sesuatu
yang menjijikkan terjadi, muntah. Mereka tidak merasa keberatan sama sekali,
malah menawarkanku kantong keresek hitam, seperti aku akan muntah saja
sekarang.
Kami
terus mengobrol dalam keheningan bus malam itu, sampai singgah ke tempat
pemberhentiaan, untuk the last supper
di Sanggau pukul 3 pagi. Semua penumpang turun dan kebanyakan menuju toilet.
Saat itu toilet seperti loket saja, banyak orang berdiri dengan posisi
berbanjar. Aku bisa mencium aroma muntah di sekitarnya.
Astaga! Aku masih belum
terserang! Aku harus bersyukur atau khawatir, entahlah…
Aku
harap masih bisa terus bertahan.
***
Perjalanan sudah terasa seperti roller
coaster. Suara decit ban seperti merintih karena terpaan batu-batu terjal.
Setiap genangan di permukaan aspal menawarkan jebakan tersendiri bagi pengguna
jalan. Dangkal atau sebaliknya. Hanya ada hutan di kiri-kanan jalan, melototi
suara mesin yang berisik dan kasar. Sesekali dahannya menampar kaca jendela karena
kesal.
Dari
kaca jendela, aku juga dapat melihat pohon-pohon sejenis kelapa. Konon pohon
itu dibawa oleh imperium kolonial. Pantas saja kebiasaannya memonopoli
sumber-sumber kekayaan. Tanah tempat
pohon itu berpijak tampak sedang sekarat. Hanya kepada Tuhan ia berharap kehidupan.
Hanya kehendak Tuhan yang dapat mencabut dahaga bumi yang kering kerontang.
Pepohonan sawit itu tampak begitu luas, membentang
sampai ribuan hektar. Keteraturan barisannya membuat suasana angker tesendiri
dalam kegelapan, menciptakan imajinasi wewek gombel dalam kepalaku.
Bagaimana mungkin wewe
gombel bisa pindah dari pohon bambu?! bahkan monyet pun tak mau ada di kebun
itu!
Kebun
itu terlalu merajalela tumbuh di Kalimantan. Aku jadi teringat dengan kegiatan
kunjungan di Kayong Utara. Sebuah perusahaan sawit memperkenalkan kawasan
konservasi yang mereka bangun untuk membuktikan bahwa bisnis ini juga turut
menjaga keseimbangan alam. Mungkin orang awam bisa mereka kelabuhi tapi tidak
sepanjang penglihatanku. Sawit telah menggantikan hutan hujan.
Aku,
Hong ye dan Della saling pandang mengkhawatirkan lusinan kotak KFC yang
ogal-ogel di sepanjang perjalanan.
Sungguh mengganggu!
Aku
baru teringat dengan perut kosongku, aku berangkat tanpa makan malam dan hanya
memakan manisan ini, dan rasanya semakin pilu karena KFC ini hanya menawarkan
aroma yang menusuk-nusuk saraf hidungku.
Akhirnya
kami berhenti lagi di suatu daerah, aku kembali menghidupkan panel mobile data dari handphoneku untuk melihat
lokasi sebenarnya. TEBEDU. Kami sudah di pos perbatasan.
Bus Keberangkatan Melewati Perbatasan |
***
(6/2/2015): Road to
Indonesia-Malaysia Border
(04.30
pos kawasan lintas batas, Entikong, Kalimantan Barat)
Kami
bersiap-siap untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah di surau.
Suhu
udara menunjukkan angka 24 derajat celcius. Wudhu pun membawa sensasi sengatan
sampai lapisan endodermis kulit. Aku tidak sabaran membungkus badan dengan
mukenah. Aku juga berdoa banyak hal demi kelancaran kegiatan ini.
(06.00 Melangkah ke Serawak)
Kami berdiri berbanjar di antara
orang-orang yang ingin meninggalkan Indonesia. Topi seragam yang kami gunakan
membuat rombongan ini selalu menjadi pusat perhatian.
Ini pertama kalinya aku menjalani
antrian di PPLB Entikong. Walaupun kami ramai, tapi proses antrian berlangsung
dengan cepat. Ketua panitia mungkin sudah berkoordinasi dengan pihak imigrasi.
Tidak
hanya aku yang tersenyum lebar melihat Malaysia yang tinggal sejengkal,
wajah-wajah lain juga tampak bersinar di pagi yang penuh embun.
Di
saat yang sama aku merasa seperti Alice yang melangkah ke wonderland. Suasana
di tebedu begitu berbeda. Rumput diatur sama tinggi. Calo tak dibiarkan
beraksi. Semua tertata rapi.
Setelah
melewati prosedur keamanan, kami kembali menaiki bus.
Samarahan-Kota
yang sepi namun bersih. Begitu mungkin yang ada dalam benak kami. Suasana di
bus tampak hening. Semua memperhatikan pemandangan di luar jendela. Beberapa
mungkin berharap dilahirkan sebagai warga Malaysia.
Aku
melihat stasiun pengisi bahan bakar sudah berjalan seperti yang biasa aku
tonton di film Hollywood. Konsumen melakukan pengisian sendiri.
Panitia
dengan lantang membacakan perubahan schedule.
“Kalian
harap bersiap-siap, karena kita akan langsung menuju UNIMAS.”
Astaga! Muka yang kusut
ini akan berhadapan dengan mahasiswa di sana.
Kami
hanya bisa pasrah.
***
(08.00
UNIMAS)
Kami sampai di universitas yang
konon lebih muda 33 tahun dari Universitas Tanjungpura. Kami keluar dengan
mengenakan almamater. Kami diarahkan menuju ruang semacam hall, namun tidak terlalu besar. Kami disambut oleh beberapa
civitas akademika UNIMAS dan diantaranya ada orang Indonesia yang menjadi dosen
di sana.
Dalam
pidatonya, mereka meminta maaf karena tidak bisa menghadirkan mahasiswa
penghuni UNIMAS akibat periode liburan semester yang belum usai. Kami hanya
disambut oleh dua orang mahasiswa Indonesia yang sekolah di sana.
Dua
orang mahasiswa itu menceritakan pengalamannya selama di UNIMAS dalam bahasa
inggris yang fasih. Pada saat sesi tanya jawab, rasanya aku ingin bertanya
mengenai alasan mereka lebih memilih UNIMAS dibandingkan UI, UGM, ITB atau
UNPAD. Tapi, aku segan bertanya, mengingat ini terkesan skeptis.
Akhirnya
perbincangan selesai, selanjutnya kami diajak berkeliling melihat-lihat UNIMAS.
Universitas ini telah jauh melampaui UNTAN dari segi sarana dan prasarana. Perpustakaan
idaman ada di sana. Koleksi bukunya lengkap, mulai dari karya asli sampai
terjemahan, wifi lancar, dan yang
paling takjub adalah buka 24 jam.
Lo bisa nginap! Ngiri
banget!
Tapi,
kalau dibandingkan harga semesterannya dengan nominal rupiah. Nggak sanggup,
Guys! Belasan juta! Kalau hal seperti itu berlaku, sama aja membatasi harapan
anak Indonesia untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
(14.00 KUCHING)
Masih
belum mandi, kami terus melanjutkan perjalanan ke wilayah utara. Mengunjungi
museum Serawak, museum Kuching dan patung Kuching.
Aku
senang namun tidak begitu antusias dengan berbagai kunjungan ini. Aku terpukau
dengan keindahan serawak, namun aku merasa tidak nyaman jika memuji berlebihan
dibandingkan negaraku seutuhnya. Boleh jadi Kalbar memang tertinggal. Namun
bagaimana dengan Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta atau Bali yang sangat
terkenal itu? Aku merasa bersalah belum mengunjunginya.
Namun
ada beberapa hal yang membuatku terhibur seperti palang informasi yang ada di
dekat gedung Dewan Undangan Negeri Serawak, Petra Jaya. Melayu merupakan bahasa
Malaysia, namun tidak semirip melayu Pontianak. Sampai sekarang aku masih
penasaran arti tulisan yang ada di dekat gedung dewan
ASTANA (Pangkalan Sapi)
Hari
melelahkan itu aku akhiri dengan berfoto bersama Hong ye di dekat patung-patung
Kuching.
(20.00 ROMANTISME WATER FRONT)
Kami
turun dari hotel TUNE untuk menikmati pemandangan water front sekaligus memakan KFC yang sedari kemarin malam berada
di bus. Kami duduk seadanya di pinggir-pingir taman dan melahapnya dengan cepat.
Kami sudah tidak sabar mengelilingi water front tanpa pengawasan dari panitia.
Hongye dan Della menjadi teman
petualanganku selama tour ini. Kami
bertiga mengelilingi sungai serawak, dan menemukan pedagang kaki lima yang
menawarkan oleh-oleh khas Malaysia. Pedagang itupun ternyata orang Indonesia.
Aku, Della dan Hongye memutuskan untuk menahan budget belanja kami mengingat perjalanan yang masih panjang. Kami
terus berjalan menelusuri water front.
Kawasan ini tidak ramai, bahkan
terlalu sepi untuk musim liburan semester. Jauh berbeda dengan Alun-alun Kapuas.
Tempat yang dahulu dinamai korem itu selalu ramai dengan anak muda apalagi
musim liburan. Mungkin tempat ini tidak cukup romantis bagi kalangan muda-mudi
Malaysia. Atau mereka lebih suka berduaan dengan Dzat yang Menciptakan Cinta
pada hari yang diberkahi ini, Jumat.
(7/2 PUKUL
05.30 a.m BANDARA INTERNASIONAL KUCHING)
Tour
ini telah membuat aku, Hongye, dan Della selalu menjadi penghuni kursi bus
paling belakang. Aku tidak takut mabuk lagi. Sholat tahajud tadi malam juga
telah menguatkanku, aku siap menaiki Air Asia untuk pertama kali.
Pertama kali! Setelah
berita tenggelamnya Air Asia QZ8501 di selat Karimata pada akhir tahun lalu.
Kami
bertiga kebagian keberangkatan pertama dari rombongan dengan nomor penerbangan
AK 5413. Dari balik jendela bandara aku bisa melihat hujan sedang turun amat
deras. Jadwal penerbangan terpaksa molor menunggu cuaca kembali
bersahabat.
Aku
duduk di nomor kursi 10D. Tak disangka tepat bersebelahan dengan salah satu
dosen ekonomi UNTAN, Bapak Muhammad Fahmi. Salah satu tokoh yang menginspirasi
selama masa kegiatan wirausaha yang diadakan oleh Comdev Outreaching UNTAN. Waktu itu beliau menjadi juri yang
menyeleksi tim yang berhak didanai produk usahanya. Beliau juga menjadi juri
final tahap monitoring dan evaluasi selama pelaksanaan Food Festival di sekitar kantor rektorat UNTAN. Tak jauh dari
tampat aku duduk, juga ada Bapak Rahmat Rasmawan. Beliau adalah dosen sekaligus
seniorku di kampus. Entah mengapa kehadiran orang-orang ini membuatku merasa
lebih aman dan nyaman.
(11.30 Jetlag in JOHOR BAHRU)
Keterlambatan
penerbangan di Kuching membuat kami sampai di Johor sekitar jam 11.30.
Perjalanan dilanjutkan menuju ke tempat makan, Restoran Singgah Selalu. Kami sudah cukup kenyang makan di salah
satu foodcourt yang ada di Senai International Airport. Kami hanya memesan
minuman di sana, “minuman aneh”
begitu kami menyebutnya.
Kami
sengaja memesan tongkat ali dan kickappo karena ingin merasakan menu
yang berbeda dari Indonesia. Walaupun namanya aneh, tapi rasanya tidak berbeda
dengan minuman kaleng kebanyakan.
Bus
terus membawa kami menuju destini berikutnya, LEGOLAND dan Laluan Kebudayaan Tan Hiok Nee. Sebelum
sampai di sana, kami singgah dulu di Masjid
Jamek Sultan Abu Bakar.
Ibadah
di masjid selalu menjadi agenda yang paling aku tunggu. Wisata relijius
menawarkan keindahan dan ketentraman yang tidak hanya sampai di mata, namun
juga turun ke hati. Masjid ini mirip keraton namun memiliki menara yang berbeda
dari masjid kebanyakan. Menaranya dirancang mirip dengan jam besar yang ada di
Inggris. Selain itu terdapat campuran gaya arsitektur Moorish. Ciri itu tampak
pada bagian pilar yang melengkung seperti tapal kuda. Beberapa wisatawan asing
juga terlihat mengunjungi masjid.
Saat
itu masih pukul 15.00 dan belum adzan ashar, sehingga kami melakukan sholat jama’
taqdim.
-LEGOLAND-
(15.45)
Kami menjejakkan alas kaki di theme park yang baru diresmikan pada September
2012. Konon tempat ini adalah legoland pertama di benua Asia.
Kami
hanya diberikan waktu satu jam untuk berkeliling. Kami ingin menaiki wahana
namun langsut ciut dengan harga yang ditawarkan, sekitar 165 RM.
It’s so expensive!
Selama
berkeliling, aku tak sengaja disapa oleh seorang lelaki yang ku kira sebaya
denganku. Memang sedari tadi aku memperhatikan mereka ingin meminta tolong
untuk difotokan bersama rekan-rekannya. Mereka pemuda yang ramah dan juga
sedang duduk di bangku kuliah.
-Insiden Miskomunikasi-
Kami
menunggu dan menunggu bus yang akan menjemput. Waktu itu hanya ada kami
bertiga, satu anak lelaki pendiam yang ada di baris kedua paling belakang bus,
pak Fahmi dan seseorang yang kami panggil Kepala Geng, karena bapak itu sebagai
salah satu stakeholder penyelenggara paket wisata Sang Bintang.
Kepala
geng sedari tadi mengomel dengan supir bus yang tidak berkoordinasi dengannya.
Ia mengutarakan kekesalan pada angin yang terus berhembus kencang, semacam
ultimatum. Tegas dan penuh peringatan.
Kami
sedari tadi diam memikirkan nasib uang denda. 1 RM setiap kelipatan menit.
Namun, aturan itu tidak berlaku karena kami berada di pihak yang tepat.
Suasana
dalam bus kami senyap dan sedikit tegang. Akhirnya bus berhenti sejenak di City Square Clock Tower JHB. Bangunan itu
hampir mirip dengan jam gadang yang ada di bukittinggi, Sumatera Barat. Kami
makan jajanan semacam sosis dan nugget yang ada di dekat sana.
-Laluan Kebudayaan Tan
Hiok Nee-
Kami
meninggalkan arena Clock Tower pada pukul 18.30. Matahari masih belum terbenam kala
itu. Jalanan macet karena pergiliran lampu merah. Aku hampir tidak pernah melihat
petugas polis Malaysia mengatur lalu lintas. Mereka cukup mengawasi dibalik
CCTV di setiap sudut jalan. Penduduk juga sangat sadar mengenai aturan denda
jika melanggar rambu-rambu lalu lintas.
Aku
mengintip dari balik jendela bus dan melirik kendaran-kendaraan yang berjejer.
Mayoritas mobil. Kebanyakan kereta (artinya mobil dalam bahasa Indonesia) yang
mereka kendarai terlihat berbeda dari keluaran Eropa. Lebih sederhana. Kereta
itu ternyata jenis CKD (Completely Knock
Down). Komponen kereta diimpor namun dirakit sendiri oleh Malaysia. Tidak
mau kalah, negara ini juga telah memiliki produksi kereta sendiri, penampilannya
juga tidak kalah kinclong dengan kereta Eropa, seperti Proton dan Perodua. Kebijakan
dari pemerintah megenai pajak mobil CKD telah membiasakan warga Malaysia mencintai
produk dalam negeri.
Akhirnya,
kami sampai di jalan Tan Hiok Nee pada waktu petang. Kawasan ini terkenal
dengan sebutan Malay Herritage Centre khususnya bagi kebudayaan Tionghoa.
Kawasan ini cukup ramai menjelang Imlek pada akhir Februari.
Hongye
dan Della berada di program studi yang sama, Pendidikan bahasa mandarin. Tempat
ini menjadi destini yang sangat menjanjikan bagi mereka. Mereka sangat antusias
berbicara mandarin dengan pedagang tionghoa. Aku menyadari bahwa bahasa inggris
tidak terlalu menguntungkan saat Cina benar-benar menguasai perdagangan Asia
Tenggara.
-Hotel Sakura-
Kali
ini aku sekamar dengan Fitriyani, dari fakultas MIPA jurusan kimia. Dia aktif
dengan organisasi kampus. Sama denganku. Aku banyak bercerita mengenai kegitan
di luar kuliah itu. Setelah banyak bercerita, akhirnya aku baru menyadari
kenapa aku tidak terlalu menikmati perjalanan ini. Sebagian besar pikiranku
masih sepenuhnya di Pontianak dan 7 kabupaten.
Aku
berangkat ke luar negeri dengan menitipkan amanah sementara di dalam negeri.
Ada agenda Pekan Kimia yang harus aku laksanakan. Sebagai koordinator acara aku
sangat mengkhawatirkan kelancaran kegiatan yang dilaksanakan di Pontianak, Kubu
Raya, Mempawah, Singkawang, Sambas, Sanggau, Landak dan Sintang itu. Aku
berhutang jasa besar kepada panitia di seluruh daerah.
(8/2 PUKUL 05.30 a.m Perjalanan
menuju Singapura)
Pagi-pagi
buta kami sudah briefing
keberangkatan menuju Singapura. Panitia memberikan arahan ketat sebelum
kepergian ke negara Singa itu, terutama masalah toilet. Toilet di Singapura
banyak namun tidak cebok pake air.
Semua memutuskan untuk membatasi asupan air ke dalam sistem pencernaan.
Bus
kami melewati selat johor di atas Tuas
Second Link, jembatan kedua yang menghubungkan antara Malaysia dan
Singapura. Isunya Batam ingin membangun jembatan serupa dengan Singapura.
-Semua ditahan di checkpoint-
Semua
penumpang wanita dari rombongan kami berhasil melewati security check dengan mulus di Terminal
1 Arriving Imigration, kecuali satu teman kami yang berjilbab paling lebar
dan semua kaum pria. Mereka harus tertahan.
Kami
menunggu was-was kehadiran mereka.
Jangan sampai ada yang
dikembalikan ke Johor!
Akhirnya
mereka semua kembali tanpa kekurangan satu apapun. Kami bersyukur dan berjanji
akan lebih berhati-hati di negeri kecil namun cabe rawit ini. Masalah kecil
bisa jadi pedes banget di dalam negara yang luasnya cuma setengah dari ibu
kota.
***
WELCOME
TO THE FINE COUNTRY. SELAMAT DATANG DI NEGERI PENUH DENDA. Begitu aku
mengartikan papan selamat datang yang menyambut kunjungan kami. Kami akan
berjalan terus sampai ke sentosa island.
Selama
perjalanan, kami melihat negara ini begitu sunyi. Bahkan lalu lintasnya begitu
sepi. Semua orang bersemayam di dalam gedung-gedung tinggi. Melakukan kegiatan
produktif guna menikmati hari pensiun yang ekslusif. Begitulah mereka dalam
doktrin Central Provident Fund (CPF).
Pemandangan
berubah 180 derajat ketika melewati Orchardz
road. Ramai banget, tapi banyak bule. Mereka berbisnis, berlibur atau hanya
sekedar singgah meeting di wilayah
ini. Mereka tidak kegerahan berjalan kaki di tengah hari, karena singapura
bukan negara polusi. Singapura memiliki suhu yang sama dengan Indonesia. Hanya
karena kadar karbon dioksida negara kita sudah melewati ambang batas, makanya
terasa lebih terbakar. Bule yang ke Indonesia bisa terserang heat shocking, terlebih jika berada di
wilayah equator.
Kebijakan
Lee Kuan Yew untuk mengobral zona
bebas pajak telah membuat negara ini menjadi pusat perbelanjaan terfavorit bagi
pasaran Eropa dan Amerika. Berbagai gedung dengan logo brand kelas dunia menjadi
pasak perekonomian Singapura. Kebijakan ini turut diadopsi oleh perjanjian perdagangan
antar negara ASEAN, free trade area. Semua
tampak begitu mengkilap, berkilau, sangat duniawi.
Akhirnya
sampailahlah kami di Merlion Park. Bukan
hanya bule yang ramai di sini, tapi juga orang Indonesia. Banyak yang liburan
di sini. Kurang lebih hanya 2 juta rupiah untuk paket backpacker. Kita cuma butuh waktu sekitar dua bulan untuk
mengumpulkan gaji setara UMR.
Taman
ini benar-benar magnet bagi Singapura. Semua orang dari setiap benua hadir di situ.
Aku,
Della, dan Hongye sibuk mencari bule spesial. Bukan yang berkulit putih kemerahan
dan berambut pirang, tapi target utama kami adalah remaja jepang. Kami garis
bawahi, anak laki-laki Jepang.
Kami
tidak perlu waktu lama untuk menemukan mereka. Dengan modal nguping, kami mampu
membedakan mana remaja Cina, Taiwan, Korea ataupung Jepang.
”Chotto
matte!” begitu sapa Hongye kepada senpai.
Hongye
dan Della sangat tersipu-sipu bertemu para pria ini. Namun, mereka tidak malu
untuk bertanya. Hampir tidak kalah cerewet dengan wartawan yang ada di infotainment.
Mereka benar-benar membawa pengaruh yang baik bagi sifatku yang agak isolir.
Bersama senpai-senpai dari Negara Sakura |
Hal
luar biasa lain adalah para senpai ini menginap di hotel Marina Bay. Hotel yang
Melengkung dalam persepsiku. Negara ini benar-benar memanjakan wisatawan dengan
arsitektur megah, hampir di luar nalar banyak orang.
Singgah sebentar di Marina Bay |
***
Perjalanan
selanjutnya adalah sholat di masjid Sultan yang ada di kampung Glam. Selain
sebagai tempat ibadah, masjid ini juga menjadi tempat wisata yang ada di
Singapura. Non muslim pun dapat melihat Masjid
Sultan, namun dengan catatan, pakaian harus sopan (perempuan akan dipinjamkan
kain selendang penutup kepala). Wisatawan non muslim tidak diperbolehkan masuk
ke ruang sholat utama, hanya sekedar melihat dari koridor depan atau samping
masjid. Di teras masjid terdapat display berbahasa Inggris yang berisi prinsip
dasar ajaran Islam, bagaimana Islam memandang perempuan, dan mengapa perempuan
Islam wajib memakai pakaian muslimah atau jilbab.
Konon
bangunan masjid ini mirip sekali dengan masjid Jami’ yang ada di Pontianak. Namun,
seiring meningkatnya aktivitas perdagangan, masjid ini direnovasi untuk
menampung jamaah dalam jumlah yang lebih besar. Denis Santry merupakan
arsitektur bagi metamorfosis masjid tertua di Singapura ini. Dia mengadopsi
desain Saracenic Style, campuran gaya asrsitektural India, Arab, dan
Gothic. Pengaruh Mogul tercermin dari adanya 2 (dua) kubah berwarna emas
yang di puncaknya terdapat bulan sabit dan bintang sebagai simbol bangunan
Islam. Empat menara yang menjulang di setiap pojok masjid memiliki tangga
sampai ke balkon tower dimana muadzin mengumandangkan adzan.
Seusai
sholat, aku langsung berburu oleh-oleh di pasar yang ada di jalan Busaroh,
jaraknya hanya bersebrangan dengan masjid Sultan. Selalu ada sensasi tersendiri
apabila membeli barang dari pedagang muslim.
Kau
menginvestasikan uangmu demi menjaga ukhuwah.
***
Alhamdulillah,
hotel terbaik selama akhir perjalanan kami adalah di Kuala Lumpur. Bukan karena
jumlah bintang, namun lebih kepada anggota kawan yang ada di tempat tidur.
Sekarang ada 4 orang di dalam kamar termasuk aku. Malam itu tiada letih.
Walaupun dua hari kami habiskan berkunjung ke Dataran Merdeka, Pasar Petaling, Getting
Skyway, museum, twin tower dll… malam itu terasa khidmat dengan menu makan malam
indomie rebus. Hidangan paling wajib di saat uang hampir habis dibelikan
oleh-oleh.
Berbicara
tentang oleh-oleh. Oleh-oleh terindah sejatinya adalah kesan dan pengalaman.
Screen HP yang retak, terjatuh di depan jalan Universiti Malaya, membuat aku
menduga-duga pertanda. Apakah aku akan berkunjung kembali ke sini? Atau
menjadi mahasiswa di sini? Atau mendapat jodoh di sini? Atau jadi TKI di sini?
TKI.
Singkatan yang selalu membuat kita menarik nafas panjang kala ingin
membahasnya. TKI menjadi identik dengan kasus penganiayaan, padahal tidak
semuanya begitu.
OOTD di dekat Masjid Putra, KL |
Menjejakkan
kaki di negara lain membuat mataku lebih terbuka lebar, terutama jeritan
bangsaku. Bukanlah suatu kebetulan aku terlahir di negara berkembang. Ini
adalah tanggung jawab. Aku ditakdirkan untuk mengubah nasib negeri ini. Kita
penduduk asli yang harus menjaga negeri ini dari perang ideologi.
It is okay we don’t have skyscraper, as long as we
have a lot of rain forest.
That one which makes this world stable.
It’s not
wrong to have a traditional lifestyle, as long as we keep repect to our
parents,
Helping neighbours, playing kite or skipping rope with
friends
Those make us healty and cheerful.
It’s not failure we don’t have much bombastic
invention, as long as all of us keep solving problem until the remote area.
Because those are principal for being a respected
country.
0 komentar: