Bermula lewat DM Instagram tanggal 19 Februari, saya terkejut ditanyai Bang Ian untuk ikut ngetrip ke Riam Bedawat. Blio merencanakan perjalanan naik motor alias touring dari tanggal 5-7 Maret mendatang.
Sebenarnya saya tidak
terlalu minat pergi, sebab awal tahun sudah berkunjung ke air terjun, masa air
terjun lagi. Namun setelah ditunjukkan foto Riam Bedawat, saya mulai
mempertimbangkan. Di dalam foto terlihat Air Terjun Bedawat memiliki tujuh
tingkat yang sangat elok. Lumayan nih nambah feed instagram, pikir saya.
Sayapun diajak bertemu
dan mendiskusikan rute perjalanan bersama teman-teman rombongan nanti. Saya
mendapati hanya 2 wanita yang hadir saat rapat, mereka terlihat sudah biasa
traveling.
Semua yang hadir sangat vocal membicarakan perlengkapan wisata alam, banyak benda yang terdengar asing
bagi saya, seperti fly sheet, nesting, sleeping bag, hammock, diperparah setelah mereka bilang kita butuh headlamp untuk menembus hutan di malam
hari. Hah mampus! batin saya. Saya
menjadi gugup karena sepertinya perjalanan ini akan sangat berbeda. Kemudian
saya mencari hashtag #riambedawat di instagram, sampai akhirnya saya mulai
mengerti alur pembicaraan rapat.
Hati saya terasa
menciut ketika melihat rute perjalanan ternyata akan melewati tanah kuning.
Saya pernah melewati jalan seperti itu saat pergi ke pedalaman Ketapang dan
bersumpah tidak akan mau melewatinya lagi.
Kau yakin mau pergi,
Ta?
Pukul 10 malam rapat
selesai dan saya masih belum memutuskan apa-apa.
Malam hari seperti
biasanya, sebelum tidur saya selalu menyempatkan diri berdoa menonton
alur cerita film di youtube. Saya lanjut menyimak The Lord of The Rings dan The
Hobbit dari channel Movierastis, tanpa saya sangka salah satu scene dalam
sekuel ini telah menambah keberanian saya.
“You will have to do without pocket
handkerchiefs, and a great many other
things, before we reach our journey’s end, Bilbo Baggins. You were born to the
rolling hills and little rivers of the Shire, but home is now behind you. The
world is ahead.”
Dalam scene itu
terlihat Gandalf berbicara kepada Bilbo yang kira-kira maknanya begini
“Kau harus tebiasa tidak
menggunakan sapu tangan dan barang-barang bagus lainnya, rumah sekarang ada di
belakangmu, dan dunia ada di depanmu.”
Niat saya pingin ikut
menjadi bertambah secara signifikan, lalu saya mulai menyiapkan perlengkapan pribadi
seperti tas carrier, sepatu hiking, dan tentu saja kacamata!
Seperti generasi
instagram pada umumnya, saya kepingin ada konten ootd. Hahaha. Saya mencari
artikel mengenai pakaian fashion yang tepat untuk mendaki. Beberapa
sumber menggambarkan kemeja fanel adalah style
favorit para pendaki.
Packing saya yang newbie |
Saya juga mengajukan
diri untuk membeli bahan-bahan masakan karena yang lain sudah bersedia
menyiapkan perlengkapan outdoor alias camping yang cukup berat. Dari daftar
belanjaan, saya baru tahu ternyata tidak boleh membawa terasi ke dalam hutan, katanya
pamali. Ya sudah saya menurut saja
daripada liburan saya berubah jadi dunia lain paranormal experience.
Creepyyy
Nah, buat kalian yang
newbie, menu masak untuk aktivitas outdoor
yang bisa dipersiapkan diantaranya, sayuran yang tahan lama (seperti wortel,
kol, jagung, dll), makanan kaleng (sarden, kornet, dll), telur (lebih baik
kalau dikemas dalam wadah khusus atau egg
holder), bekal kecap dan saus juga, yang terpenting jangan lupa penyedap
rasanya, kan lucu kalau garam aja sampai ketinggalan.
Lalu perlengkapan wajib
buat kamu yang punya budget lebih sekaligus penikmat kopi, tak lain dan tak
bukan adalah coffee kit. Saya tidak
bermaksud berlebihan dalam hal ini, tapi kopi yang dibuat dengan metode seduh
sempurna akan menghasilkan flavor
yang jauh lebih nikmat, lalu ditambah dengan suara dan suasana alam, jauh dari
kebisingan kota, sensasinya bakal naikin hormon endorfin secara drastis. Asekkk!
Akhirnya hari H pun
tiba, saya tidak lupa mengumumkan ke jagad maya tentang kepergian saya
“Bismillah road to Desa
Dange Aji, Kab. Landak. I’ll be out of reach until sunday”
Mulanya saya mengira
hanya ada 10 orang yang pergi, ternyata Aan membawa teman-temannya yang lain.
Tersebutlah Bang Ian, Bang Ahmad, Ilham, Kak Eka, Diah, Rangga, Andi, Uli,
Diana, Aan, Yoga, Mahmud, Tegar, Amar, dan saya menjadi satu rombongan touring
yang diberi nama SLB, singkatan dari
Seribu Langkah Borneo.
RUTE
DAN DURASI PERJALANAN
Pontianak
– Ambawang – Simpang Ampar – Sosok – Ngabang – Desa Dange Aji (Serimbu) – Riam
Bedawat
Kami mulai beranjak
dari Pontianak hari Jumat, tanggal 5
Maret sekitar pukul 8 malam. Terbesit perasaan khawatir sekaligus senang di
dalam benak saya.
Oh,
begini toh rasanya touring
Dua motor dari
rombongan kami menggunakan knalpot racing
yang membisingkan, namun entah mengapa itu terasa keren, seolah membuat
orang-orang yang melihat kami merasa segan, dan terpaksa minggir mengalah
ketika kami melewati jalan raya. Hehe.
Teman kami yang
menggunakan motor matic beberapa kali
harus berhenti mencari pom bensin atau kios.
Jalanan terlihat sepi,
gelap, semak dan tentu saja sawit. Truk ekspedisi yang mengejar setoran
terpantau banyak beroperasi tengah malam begini. Jalanan cukup mulus, dan
berkelok. Kami harus extra hati-hati saat melewati jalan di Simpang Ampar karena
ada beberapa lubang yang mengagetkan membahayakan pengendara.
Sekitar pukul 12 malam,
kami berhenti sejenak di Ngabang
untuk makan.
Singgah sejenak makan di Lamongan Ergo 01, Ngabang |
Nah, di saat seperti
ini nafsu makan saya mulai bertingkah. Sementara orang-orang menghabiskan
makanannya, saya terpaksa harus membungkus pesanan saya karena lambung saya
berlagak seperti Sultan.
Kampret!
Otak gue sih simpel aja mikirnya tinggan ditelen, tapi kerongkongan gue menolak
makan nasi yang kurang pulen. Tsaat!
Setelah ini saya harus
menanggung resiko bahwa saya harus kuat melanjutkan perjalanan sebagai individu
yang memperoleh asupan makan paling sedikit. Huhuhu~
Dari Lamongan Ergo 01
kami akhirnya melanjutkan perjalanan (kali ini sudah ditemani guide) menuju Desa Dange Aji sekitar jam 00.30.
Di dalam hati, saya
sudah menanti-nanti, mana ya jalan kuning itu?
Sekitar pukul 2 atau 3
gitu…
Sudahlah
kuning, berdebu, berbatu, kok tanjakannya keterlaluan sih?!
Begitu gerutu saya.
Saya tidak habis pikir jalanan ini jauh lebih parah dibandingkan dengan jalan kuning yang saya
lalui saat di Ketapang.
Beberapa kami yang
dibonceng terpaksa turun dari motor ketika melewati jalanan yang menanjak.
Tinggi dan panjang menjulang!
Namanya juga jalan yang
tidak tersentuh APBN, begitu hibur saya kepada diri sendiri.
Saya masih ingat betul
betapa beratnya tas carrier yang ada di punggung saya saat itu. Rasanya mau
nangis dan keluar dari mimpi buruk ini. Saya kira akan mendaki saat di hutan saja
nanti, ternyata saya sudah start dari
jalan kuning!
Belum nyampai desa ini!
Tsk tsk tsk KZL!!!
Akhirnya kami baru
sampai desa menjelang waktu subuh.
Tidak banyak lagi
diantara kami yang ketawa-ketiwi seperti sebelum berangkat, semua terlihat
capek dan memutuskan tidur sejenak di rumah kepala desa. Tempat kami nantinya menitipkan motor.
Saya masih dongkol
dengan carrier yang begitu berat. Saya memutuskan untuk mengurangi barang
bawaan, saya pangkas menjadi cuma bawa 2 baju, 2 celana, handuk, air mineral
1,5 liter, saya udah nggak peduli dengan tas make up, pokoknya saya cuma bekal
tisue basah. Di sini saya baru merasakan pesan Gandalf dan belajar untuk tidak
egois.
Pukul
06.30
Kami awali dengan doa
kemudian mulai memasuki hutan. Di sini saya sangat bersyukur ternyata kita
tidak jadi mendaki selagi matahari belum terbit. Yes yes!
Kami yang mulanya hemat
berbicara akhirnya mulai mengobrol satu sama lain. Dalam rombongan ini, saya
adalah yang paling minoritas, hanya kenal dekat dengan bang Ian dan Aan.
Perjalanan mendaki
membuat kami mulai mengenal satu sama lain. Obrolan membuat capeknya pendakian
hampir tidak terasa, juga mengurangi rasa takut ketika bertemu rintangan.
Namun ini tidak berlangsung
lama.
Saya betul-betul syok ketika melihat kak Eka kena
hinggapi pacet. Organisme ini tak pernah saya perkirakan akan menghantui
jalannya pendakian. Pikiran saya justru sibuk mengingat-ngingat perjalanan ini mirip
seperti adegan dalam film Anaconda. Hadehhh.
Setelah drama pacet
itu, saya akhirnya perbanyak sambat dzikir. Ke depan inilah yang menjadi
keparnoan saya, sehingga beberapa malam berikutnya saya masih mengigau
dihinggapi pacet. Huhuhu~
Rintangan ekstrim lain
yang harus kami lalui adalah saat melewati medan bekas terjadinya longsor. Jalan setapak udah nggak
keliatan, licin, dimana-mana pohon tumbang.
Saya melewati sebatang pohon yang dijadikan jalan penghubung di daerah bekas terjadinya longsor |
Pokoknya perjalanan ini
tidak seasyik seperti menyanyikan lagu ost Ninja
Hatori.
Mendaki
gunung lewati lembah
Sungai
mengalir indah ke samudera
Bersama
teman bertualang
Tempat
yang baru belum terjamah
Beda kabeh, Lurrr!
Dalam petualang itu
saya beberapa kali terpeleset, kena gores duri pohon, dan terkilir.
Saya minta carrier saya
dibawakan oleh Tegar. Ya Allah ternyata saya menjadi lebih ringan dan ini
menjadi boomerang tersendiri ketika melewati arus. Tongkat yang sedari tadi
menemani saya sudah hanyut. Apakah berikutnya saya? Begitu pikiran jelek yang
menghampiri saya. Bang Ian sudah mewanti-wanti dan mengarahkan untuk menginjak
batu yang ini, yang itu, dan yang ini. Namun sepertinya hal semacam itu tidak
bisa saya cerna sama sekali. Akhirnya dia menyusul dan membantu saya
menyebrang.
Ketika saatnya
melanjutkan pendakian, saya mendapati kaki ini tiba-tiba tidak bisa melangkah
dengan normal. Saya cemas sekali, di sisi lain saya tidak enak merepotkan
orang-orang lagi. Untungnya saya diberikan pertolongan pertama oleh Yoga sebelum
benar-benar parah. Huhuhu~
Setelah
hampir 5 jam pendakian, saya mendapati teman-teman sudah
mendirikan tenda. Ternyata saya harus menyebrangi sungai lagi, namun kali ini
saya lebih berani.
Cepetan, Ta! Masuk
tenda, ganti baju! Hahaha.
Tenda kami berdiri
tidak jauh dari Air Terjun Bedawat. Namun riamnya masih belum keliatan, karena
harus berjalan beberapa meter lagi ke belakang.
Saat itu hujan gerimis,
debit air kelihatan semakin kencang dan tambah deras.
Kami memutuskan untuk beristirahat
sejenak, memasang perlengkapan safety
di sekitar area kami tidur, kemudian bersiap-siap masak.
Ilham, dia adalah ahli
api unggun yang bertelanjang dada dalam kelompok camping kami. Saya heran sekaligus salut sama junior yang satu ini,
mungkin angin yang justru takut sama dia. Hahaha.
Salah satu menu paling
dahsyat yang disiapkan Kak Eka adalah ayam. Blio bekal ayam yang sudah diungkep.
Iya saya tidak ngawur, Nder. Ide dari Kak Eka inilah yang menyelamatkan
pencernaan saya. Sungguh nikmat ayam yang digoreng saat itu. Happyyy
Malampun tiba, lepas
waktu isya, saya tidak berlama-lama di luar dan langsung menuju tenda.
Menyelamatkan diri dari semut-semut merah yang berkeluaran dari sarangnya,
ternyata persis dekat tempat kami mendirikan dapur. Saya juga takut setelah melihat
lintah gede jatuh dari atas pohon. Tadi sore jilbab saya juga dihinggapi pacet.
Ih pokoknya saya takut, geli, mental saya paling tidak siap dengan kehadiran
pacet. Sedihhh
Di dalam tenda,
ternyata saya masih belum bisa tidur padahal sudah sangat capek. Sepertinya
tingkat kewaspadaan saya yang meningkat justru menghalangi saya beristirahat
dengan tenang.
Ohiya, hanya wanita
yang dapat privilage tidur di dalam tenda, para pria terpaksa tidur di luar
beralaskan matras, sleeping bag, sambil ditemani sarung. Terimakasih ya gais.
Terharuuu
Keesokan
Harinya
Setelah sarapan, kami
baru bergegas melihat Air Terjun Bedawat.
Sejauh ini memang
Bedawat adalah air terjun terindah yang pernah saya temui.
Namun dunia internet telah
mengacaukan impresi saya. Saya memang merasa senang tapi kok sekaligus B aja gitu
ketika melihat air terjun ini secara langsung. Mungkin karena saya kebanyakan searching mengenai Bedawat lewat
instagram. Atau kenapa ya saya? Hahaha.
Saya justru lebih asyik
memperhatikan aksi dan tingkah kawan-kawan, berpose.
Camera iphone punya
Mahmud jadi tumbal saat itu. Hahaha.
Tim SLB (Seribu Langkah Borneo) |
Saya sudah terpeleset
lagi ketika melompati bebatuan yang ada di sungai. Namun saya tidak risih lagi
saat itu, saya nggak sabar aja mau cepet pulang sampai. Hahaha.
Tips.
Oiya kalian harus memastikan barang bawaan di dalam tas sudah dibungkusi
plastik yang aman, sebab perjalanan ke sini melintasi dua sungai.
Walaupun kami beranjak
dari Riam Bedawat saat tengah hari, namun hutan selalu menyajikan kesegaran dan
aroma oksigen yang tidak dimiliki oleh kota. Saya begitu menikmati perjalanan
pulang yang sejuk dan penuh kedamaian.
Kali ini orang yang berada di
depan saya adalah Andi. Salah satu junior yang tidak kalah kocak. Andi
dihinggapi beberapa pacet persis di depan mata saya. Kali ini saya malah
ketawa-ketawa aja di atas penderitaan dia.
Ada yang bilang “hutan
udah kenal kita” mungkin itu berlaku bagi saya namun tidak bagi Andi.
Kelihatannya penghuni hutan masih belum ramah dan betah menggerayangi dia.
Hahaha.
Singkatnya, kami sudah
berjalan selama lebih dari 3 jam, beberapa ada yang di depan, sebagian di
belakang. Saya, Diana dan Yoga berada di rute tengah.
Saya melihat Diana agak
pucat dan meminta tolong Bang Jago alias Yoga membawakan tasnya. Teman baru
saya yang ternyata lulusan fakultas kehutanan Universitas Tanjungpura ini emang
serba dan sakti mandraguna. Sudah lebih dari 5 julukan dia peroleh karena
kemampuan di luar orang normal yang blio miliki, ngebawain dua carrier, nebas
semak-semak supaya kami lebih mudah lewat, entahlah apa lagi yang luput dari
yang saya lihat. Nah, kali ini dia membawa satu kantong barang miliknya sendiri
ditambah tas Diana dengan ditopang sebatang kayu. Persis banget kaya adegan
lawas dah. Wkwkwk.
Hampir pukul 18.00,
kami berhasil menginjakkan kaki di atas jembatan gantung ikonik milik Desa
Dange Aji. Gagah betul ketika melintas di sana, kami tidak terombang-ambing seperti
kali pertama melewatinya. Kami hampir menyamai murid-murid kung fu yang
berhasil menyelesaikan berbagai rintangan. Kalau dalam adegan mereka
menjingjing ember berisi air, sedangkan kami menggendong carrier. Hahaha.
Pukul 20.00
Setelah berberes, kami pamit
pulang dengan keluarga dari kepala Desa Dange Aji. Rombongan motor kami
perlahan-lahan meninggalkan desa dan mulai menembus gelapnya malam.
Cuaca tidak begitu
ramah kepada kami, hujan perlahan-lahan mulai turun, dan semakin
deras. Namun kami tetap haru melanjutkan perjalanan karena besok sudah masuk
kerja, kami harus sampai Pontianak apapaun rintangannya.
Tanpa disangka perjalanan
pulang benar-benar lebih berat. Tanah kuning menempel mantap di pakaian, taplak
sepatu dan kendaraan kami. Beberapa motor harus melepas spakbor depan agar
meminimalisir tanah kuning yang menghambat roda berputar.
Saya berboncengan
dengan Amar kali ini, karena saya perkirakan kondisi motor Rangga sedang amat tidak memungkinkan untuk bergoncengan. Saya
juga tidak mau mengulang, menggendong tas Rangga seperti di awal perjalanan.
Saya mungkin terkesan egois
saat itu, hanya saja saya harus perform
dan bekerja besok, saya tidak ingin babak belur.
“Jangan turun kakinya
ya, Kak!” pesan Amar mengingatkan agar dia tidak oleng melewati jalan bubur
itu.
Satu-satunya cara untuk
mematuhi instruksi Amar adalah dengan memejamkan mata dan berlakon seolah menjadi paket yang siap diombang-ambing sama kurir.
Sayangnya, perasaan
was-was saya tidak mudah dijinakkan saat itu, sesekali saya mengintip kondisi
jalan kampret itu. Saya sebenarnya udah nggak betah, pengen turun, cuman karena
respek sama Amar jadinya saya bungkus dengan kalimat tanya “Mar, turun kah ni?”
ckckck.
***
Kita
masih harus mendaki, batin saya menyemangati
Anehnya, saya justru besyukur
akhirnya bisa berjalan dibandingkan kena gonceng, sebab kepala saya jauh lebih
pusing, pikiran saya tidak terkendali membayangkan jatuh dari motor.
Saya terus berjalan,
hampir tidak sama sekali menggerutu sebelum akhirnya saya menyadari tidak ada
satupun dari kami yang membawa bekal air untuk diminum. Kami sudah jumawa tanpa
mempersiapkan plan B jika terjadi hal buruk saat perjalanan dan rasakanlah ini…
Surprise maderf*ker !!!
Kalau selama mendaki gunung,
kami leluasa mendapatkan minum dari setiap mata air yang dilewati, namun
sekarang hanya ada air hujan dan lumpur.
Kami hanya diliputi
hujan dan kegelapan, dan tak mungkin meninggalkan teman.
Saya diisyaratkan untuk
tetap berjalan mendaki ke depan, sampai akhirnya saya menemukan Bang Ian
dan Diana.
Walaupun tidak lewat
voting resmi, saya menerka-nerka Bang Ian, sebagai kepala jalan pasti menjadi
orang yang paling pusing dan khawatir memikirkan nasib kawan-kawan yang terjebak
di belakang.
Setelah memastikan saya
sampai dan menemani adiknya, blio jalan menyusul teman-teman yang tertinggal.
Walaupun berdua, namun perasaan
takut tidak lantas memudar dalam benak saya.
“Rasa takut ini
ternyata membuat pendengaran kakak makin tajam ya, dek,” ucap saya pada Diana. Saya
merasakan saat itu seperti ada yang turun dari semak-semak.
Apakah itu babi hutan?
Atau? Entahlah, saya tidak mengharapkan keduanya.
“Kak, apa tuh kak?”
tanya Diana tiba-tiba. Saya tidak curiga Diana sedang menakut-nakuti saya
karena dari raut wajahnya sama sekali tidak dibuat-buat.
Saya menoleh ke
belakang dan mendapati satu cahaya mirip kunang-kunang.
“Udahlah, anggap aja
kunang-kunang, Dek!” kata saya lebih kepada menenangkan diri sendiri.
Saya sebenarnya curiga
Diana ini punya kemampuan lain. Diana terlihat jelas tidak sedang mengiyakan
kalimat saya yang denial itu. Untuk
saat ini rasa takut masih mengalahkan rasa penasaran saya terhadap Diana.
Saya tiba-tiba melihat
cahaya putih melayang agak tinggi tidak jauh dari tempat kami berdiri. Spontan
saya bertanya apa itu pada Diana.
“Pokoknya apapun yang
lewat anggap aja kunang-kunang, kak!”
Pokoknya apapun yang
lewat? Nah tu kan bener asumsi saya tentang Diana!
Oke,
aku di sini berdua aja sama Diana yang bisa melihat hal yang nggak bisa aku
lihat. Oke, what could be worse, God?
Untungnya, ada Yoga
bersama Aan dan Rangga yang segera datang.
Saya, Diana, dan Aan
diminta terus jalan ke depan. Dari sini sudah kelihatan ada cekcok diantara
temen-temen cowok.
Saya cuma bisa berdoa
semoga kawan-kawan tidak sampai tersulut emosi.
Kami bertiga terus
berjalan sampai akhirnya melihat cahaya yang berasal dari lampu handphone, yang ternyata milik Andi.
“Aku lebih milih
bejalan daripada naik motor,” ketusnya sebelum benar-benar sampai mendekati
kami.
Sekali lagi saya
tertawa geli di atas penderitaan Andi. Saya sampai berfikir mungkin kalau tidak
ada Andi, perjalanan akan jadi kurang seru. Siapa lagi yang bisa bikin saya
ketawa tanpa perlu mengobjekkan orang lain sebagai bahan. Andi seperti komedian
yang tampil apa adanya. Wkwkwk.
Pukul
22.00
Kami masih belum keluar
dari situasi yang serba sulit ini. Bahkan kami mendapati motor Tegar dan Amar
tidak bisa hidup alias mogok.
Selanjutnya yang
diminta jalan terus ke depan adalah Yoga, Mahmud, dan satu cewek.
Saya, Diana, dan Uli
saling berpandangan dan tentu saja saya yang harus ikut walaupun di depan kami
masih belum tau bisa menemukan apa? Atau bisa terjadi apa?
Hujan juga masih belum
menyerah untuk menemani kegoblokan perjuangan kami.
***
Saya sudah berkali-kali
melihat Mahmud turun tanpa alas kaki mendorong motor dengan susah payah dan
sepenuh hati.
Saya tidak lagi tertawa
meledek, atau terkesan, pokoknya saya tidak merasakan apa-apa.
Hingga kemudian hal
paling tidak diinginkan terjadi. Bagian CVT Motor Rangga terbakar.
***
Saat itu sekitar pukul
00:00 saya dan Rangga dengan berat hati melepas kepergian Yoga dan Mahmud,
masih berharap menemukan bala bantuan di depan sana.
Kalau diakumulasi
ternyata kami sudah terjebak selama 4 jam di tanah kuning becek ini.
Saya dan Rangga
terjebak dalam dilema harus berjalan maju atau kembali ke belakang.
“Kalau ke depan kita
nggak tau harus jalan berapa lama lagi kak, sedangkan jika ke belakang kita akan kembali
sama teman-teman yang lain dan ada sumber air di dekat sana,” begitu analisis
Rangga.
Saya menyetujui dengan
pertimbangan untuk menunggu dulu kedatangan Yoga dan Mahmud selama setengah jam ke
depan.
Pukul 00:30 Yoga dan
Mahmud tidak kunjung kembali, sehingga Saya dan Rangga memutuskan pergi dengan meninggalkan motor di pinggir jalan.
Kami tidak takut dengan
perkara gaib untuk kali ini, kami justru lebih takut jika ada orang asing yang muncul
dan berniat jahat.
Saya beruntung memegang
tas slempang milik bang Ian dan menemukan di dalamnya terdapat pisau. Pisau itu
kami gunakan untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
***
“Kak, kakak minum dulu,
kak!” kata Aan sewaktu mendapati kedatangan saya dan Rangga sambil sempoyongan.
Tanpa terasa kami sudah
berjalan di bawah hujan deras selama 30 menit.
Inilah sumber air yang
menyelamatkan kami dari dehidrasi. Hanya air biasa, semacam kali, namun cukup
jernih.
Pada saat yang sama Aan
memutuskan untuk mendirikan tenda darurat.
Disitu ada saya, Diana,
Uli, Andi, dan Aan. Tidak lama kemudian Bang Ian datang. Raut wajahnya
mengisyaratkan kita memang akan bermalam di sini. Artinya beralaskan tanah
kuning, ditemani nyamuk yang kelaparan, dan ekstra laron!
Saya pernah mendengarkan suara hujan sebagai musik relaksasi sebelum tidur. Namun hujan panjang malam
ini terasa mengancam, kapan saja bisa mencabut nyawa saya. Saya berada di titik
pasrah sekaligus frustasi saat itu.
***
What could be worse?
Entah temperatur di
luar yang turun secara drastis atau suhu tubuh saya yang menurun tajam, tapi saya
merasakan menggigil yang tidak biasa.
Saya juga mendapati
gerak gerik yang sama pada teman-teman, terkecuali Aan.
Saya iri betul melihat dia
bisa tidur nyenyak kapanpun dan di situasi apapun.
Kemudian saya melirik
Andi yang kelihatan gusar dan menyelutuk “Ya Allah sejuknye!”
Saya kasihan melihat
dia sudah tidak beralaskan sendal, cuma pakai kaos dan celana pendek, pun habis
dari semak motongin bambu untuk tenda.
Sekali lagi saya
tertawa namun jiwa survival saya
bangkit dan mencari cara keluar dari mimpi buruk ini.
Saya khawatir ini
gejala awal hypotermia. Jadi saya memutuskan untuk tetap bergerak, berjalan
mondar-mandir, apapun itu. Saya mengira dengan menggerakkan badan akan membuat
suhu tubuh saya sedikit naik, namun dengan resiko kalori saya yang akan
berkurang. Tidak apa-apa, sekarang sudah jam 3.30, sebentar lagi matahari akan
terbit. Warga desa akan melewati jalan ini dan kami bisa meminta bantuan.
Gerak-gerik saya yang
tidak jelas itu menarik perhatian yang lain, dan membuat salah satu diantaranya
bersuara untuk mencari korek, atau menghidupkan kompor portable kami.
Sialnya kompor portable
ada tapi tidak dengan ceretnya. Akhirnya saya, Diana, dan Andi inisiatif
mengumpulkan dedaunan untuk membuat api unggun. Saya sangat berharap keajaiban
bisa muncul, agar api ini bisa menyala di dedaunan yang masih lembab. Oh,
astaga, saya sampai rela merobek jilbab yang sedang dikenakan untuk memancing
api itu hidup lebih lama, tapi saya merasa sangat bodoh dan frustasi karena ini
tidak berhasil.
Tiba-tiba datang sesosok
orang dengan badan yang tinggi menghampiri kami, saya kira malaikat maut ternyata
itu Amar. Dia membawakan air hangat dari tempat yang terpisah dari kami sejauh 200
meter.
“Ya Allah makasih
banyak, Mar!”
Selepas memberikan kami
satu teko air hangat, dia buru-buru pergi kembali menghampiri Tegar yang
berjaga sendirian di belakang.
***
Pagi tidak pernah
seindah hari ini, begitu saya membatin. Ternyata saya masih hidup dan tertawa
getir bersama teman-teman. Hahaha.
Tegar dan Amar berhasil
menyusul kami dengan membawa motor mereka yang sudah kembali pulih.
Saya, Diana, dan Uli
disuruh tetap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saya merasa tersiksa
kali ini, asam lambung saya udah protes, energi saya sudah sangat berkurang
akibat aktivitas tadi subuh, langkah saya terasa berat dan hanya dapat berjalan
dengan pelan.
Uli menawarkan roti
yang tersisa dalam tasnya, namun kami memutuskan untuk tidak memakannya terlebih
dahlu. Belum ada perhitungan waktu yang jelas apakah di depan sana akan
menemukan rumah warga.
Memang sudah dua kali
kami mendapati warga desa yang lewat, dan mengatakan “Oh, ndak sampai 1 jam
lagi ada desa, dek.”
Kami sudah kebal dan
hanya bisa tersenyum mendengar kalimat “sejam lagi, ndak lama lagi” Astaga,
perkataan Einsten tentang waktu itu relatif bukan berlaku dalam ruang angkasa
saja! Sejam bagi warga desa, bisa berarti 3 jam buat kami!
***
“Mahmud, Yoga, kenapa
kalian meninggalkan kami? Kalian Tega!” Teriak Saya. Saya sudah mulai tidak
waras.
“Kenapa Indomie harus
kita habiskan!” lanjut saya.
“Saya ingin burger,
KFC!”
Entahlah apa yang
dipikirkan Diana dan Uli melihat keanehan saya. Tapi sepertinya mereka
menyoraki dan melanjutkan dengan kalimat-kalimat protes serupa. Wkwkwk.
Akhirnya kami menemukan
sebuah rumah dan memutuskan untuk memakan roti.
“Isitirahat makan tidak
pernah terasa semewah ini”
Dari ujung jalan, kami mendengar suara motor yang aneh, semacam
suaru perahu dengan bahan bakar diesel. Ternyata itu Yoga!
Tanpa salam hangat,
kami bertiga protes membabi buta kepada Yoga. Namun dengan sisa akal sehat kami
akhirnya bisa mengerti kenapa dia dan Mahmud tidak bisa kembali menyusul kami.
Mahmud dan Yoga
ternyata tidak berhasil menyusul rombongan depan dan terpaksa berteduh di desa
ini, yang ternyata namanya Dusun Pengkadik.
***
Kawan-kawan sudah susah
payah membopong motor Rangga sampai di rumah seorang Bapak tempat Yoga dan
Mahmud beristirahat sementara.
Bapak ini menyediakan
kami pisang, kue roma, dan air putih, itu saja rasanya seperti sajian berkelas.
Kami juga makan besar
dengan lauk mie goreng, ditutup dengan rujak nanas.
Satu pertanyaan besar
masih menghantui kami semua, “Bagaimana membawa motor Rangga sampai ke Ngabang?”
Ini merupakan dilema,
kami seharusnya sudah kembali bekerja malah belum pulang sampai tanggal 8 Maret
ini. Kami terpaksa membuat keputusan meninggalkan Yoga, Aan, dan Rangga dengan
pulang duluan ke Pontianak.
Kami pulang dengan
berat hati sambil berdoa rencana mereka dipermudah dan solusi mereka berjalan
dengan mulus.
Kami beranjak dari
Ngabang sudah dekat magrib, suasana perjalanan sangat berbeda jauh ketika kami berangkat.
Ada perasaan lega namun juga perasaan bersalah. Semua itu menjadi kesan
tersendiri buat saya. Lamunan saya terhenti ketika Amar bertanya “Gimana kak
mau traveling lagi?”
Untuk saat itu saya masih
menjawab “Gak dulu, Mar. Masih jera!”
Sekian
Malam-malam ketika saya
berbaring di dalam kamar, saya lebih sering teringat momen kebersamaan dengan teman-teman traveling di sini, terlebih saat kondisi sulit di jalanan kuning. Salah
satu soundtrack yang disematkan Tegar dalam postingan tentang perjalanan kami
yaitu Unbroken dari MVSE feat. Luma, telah mempercepat metamorfosis saya. Saya
bukan orang yang sama lagi, saya lebih kuat, saya tidak mudah terpatahkan lagi,
physically, mentally, and emotionally. Setelah perjalanan ke Serimbu ini, saya jadi agak meremehkan wisata level pantai, hahahaha. Peace! Terimakasih banyak
semuanya.