Mengukir Kaligrafi Harapan
Oleh : Yunita Kusumawardani
Matahari sedang cuti menyinari Bumi Khatulistiwa di awal September. Kota Pontianak membungkus slogannya sebagai Kota Bersinar, karena sudah memasuki musim hujan. Sudah pukul 06.15, langit masih abu-abu diliputi awan cumulus nimbus[1]. Para tunas bangsa bergegas menuju sekolah mereka sebelum hujan mengguyur. Begitu juga Arief, siswa kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 ini. Dengan mengayuh kencang sepedanya ia menuju sekolah tercinta. Rintik hujan mulai turun perlahan membasahi apa saja yang ada di bawahnya. Dengan terpaksa ia berteduh di bawah pepohonan rindang taman kota yang baru tumbuh tinggi sekitar 2 meter sedikit lebih dari tinggi badannya. Ia harus sedikit membungkuk menghindari cabang pohon yang menjulur kaku dekat tempatnya berdiri. Dengan terus memeluk gulungan kertas karton yang tertera kaligrafi dua kalimat syahadat. Dia harus menjaganya dari rembesan hujan agar dapat dikumpulkan utuh tanpa cacat kepada Pak Hasan, guru mata pelajaran seni kaligrafi Islam. Ia tidak ingin lagi karyanya berantakan seperti kejadian sebelumya. Ketika itu ia telah menggoreskan kalimat yang sama di atas karton, namun di luar pengawasannya, adik kecilnya menyoret-nyoretinya untuk menggambar pahlawan animasi jepang, Ultraman. Dia tertawa kecil kala mengingat kejadian itu, ia tidak menyimpan rasa kesal, karena ia sadar kalau dirinyalah yang salah. Waktu itu dia tengah asyik melukis kaligrafi di drawing tool yang ada dalam komputer, sementara adiknya terus mewek ingin memainkan komputer. Karena tidak ingin diganggu, ia berikan gulungan karton agar adiknya mainkan sebagai teropong. Ketika ia mulai menyimpan hasil gambarnya ke flashdisk, dengan bangga adiknya menunjukkan hasil seninya di kertas karton tersebut tepat di atas kaligrafinya. Dia melemparkan telapak tangan ke jidatnya dan terus menggeleng-gelengkan kepala tak menyangka akan apa yang adiknya perbuat.
Setetes demi setetes hujan lama-lama menjadi genangan air. Ia selipkan karton itu dalam tasnya dan mulai menaiki sepedanya karena hujan telah reda. Ia sering berkelok-kelok menelusuri jalan raya untuk menghindari genangan air. Tiba-tiba dari arah berlawan sebuah mobil pick up melesat kencang, dan membuat cipratan air ke siapa saja yang di laluinya. Arief spontan berbelok dan berbalik melindungi baju putihnya dari cipratan itu, namun karton itu tak terselamatkan. Karton itu basah di bagian yang menjulur keluar dari tasnya, dengan mulut terus komat-kamit beristiqfar, ia membuka perlahan gulungan karton itu. Lalu mukanya memerah dan dengan spontan mengucapkan “Damn!” Warna spidol kaligrafinya luntur terkena cipratan air hujan. Ia marah dan menyerocos dengan logat Melayu “Yaa Rabbana...! Dah lah kemarin berantakan kaligrafi ni gare-gare teledor, sekarang udah behati-hatipun same tak beri!”
***
Dengan wajah sedikit menekuk karena dongkol akan kejadian yang baru dialaminya, dia masuk ke kantor guru menemui pak Hasan. Kepada Pak Hasan ia menjelaskan musibah yang baru menimpanya. Untunglah Pak Hasan memaklumi dan memberikan waktu tiga hari untuk melukisnya kembali agar dapat dikirim ke seleksi lomba seni Kaligrafi tingkat kota.
***
Arief duduk dengan posisi skoliosis[2] dan membaringkan kepalanya di atas meja sambil mendengarkan penjelasan guru tentang jaminan Allah yang menjaga kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[3] Pada zaman Rasulullah SAW, baginda menyuruh para sahabat menghafal dan menuliskan Al-Qur’an di atas pelepah kurma, lempengan batu, atau kepingan tulang. Seiring perkembangan zaman, Al-Qur’an telah dicetak dalam bentuk mushaf dan dalam bentuk digital. Seperti bola lampu terang yang keluar dari kepala, Arief memperoleh ide cemerlang dari penjelasan guru itu.
“Kalau para sahabat mampu menulis atau mengukir di atas pelepah kurma, lempengan batu, atau kepingan tulang mengapa aku tidak mencobanya!” pikirnya.
***
Selepas pulang sekolah ia sengaja singgah ke bengkel mebel ayahnya. Ia mencari papan kayu mahoni dan pahat untuk digunakan sebagai bahan dan alat untuk membuat ukiran kaligrafi yang tahan lama dan tidak akan cepat rusak serta luntur.
Di rumah, dengan antusias ia mulai memikirkan kalimat apa yang akan diukirnya di atas kayu tersebut. Mengingat bahwa ia telah gagal dua kali mengumpulkan karyanya untuk seleksi lomba tingkat kota, maka ia dengan hati-hati mengukir doa Nabi Nuh dalam surah Al-Qamar ayat 10 yang artinya “Yaa Rabb bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah aku.”
Tangannya dengan mahir mulai mendesign bentuk Khat Diwani di atas kayu. Lalu dengan menggunakan pahat ia mulai mengukirnya. Lekukan demi lekukan ia bentuk. Kadang ia merasa penat, tapi kalau dia mengingat bagaimana ayahnya bekerja mengukir di atas kursi jati, ia kembali dengan semangat pecinta seni yang rela mengorbankan waktunya demi menyemarakkan keindahan tulisan arab melalui kaligrafi. Selesai sudah ia menyelesaikan kaligrafinya, hanya harakat dan hiasan lainnya yang perlu ditambahkan. “Arab gundul aja sudah indah, apalagi ditambah harakat dan hiasan, “ gumamnya. Tanpa ia sadari ayahnya berdiri mengamatinya dari belakang.
“Sibuk apa Rif?” sapa ayahnya.
“Ngukir kaligrafi Yah,” jawab Arief setengah terkejut.
“Kamu bisa?”
“Alhamdulillah, bisa Yah. Siapa dulu dong, anak ayah tukang kursi jati Jepara termahir di Pontianak!” jawab Arief bangga.
“Bagus! Kalau begitu sekarang kamu tidur, ini sudah larut malam.”
“Tapi, Yah! Saya harus menyelesaikannya lusa.”
“Kamu kan bisa melanjutkan besok, lagian suara pahatanmu itu mengganggu tetangga.”
“Baiklah, Yah! Oh, iya Ayah ada amplas dan cat tidak?”
“Ada, tapi semuanya di bengkel.”
“Kalau begitu besok saya ke sana lagi Yah.”
***
Keesokan harinya selepas pulang sekolah ia kembali ke bengkel ayahnya lagi dan menyelesaikan ukiran yang ia sebut kaligrafi harapan, karena di atas kayu terukir harapannya. Kini ia tinggal mengamplas dan mengecatnya agar terlihat indah dan mengkilap. Kemudian menjemurnya di sekitar kursi jati yang sedang dijemur juga di halaman bengkel mebel ayahnya. Perutnya sudah mulai keroncongan, ia harus pulang dan makan siang. Kaligrafi itu dititipkan kepada ayahnya untuk diangkat kalau hujan turun.
***
Sore itu, selepas menunaikan shalat ashar Arief sedikit tergesa-gesa mengayuh sepedanya menuju bengkel ayahnya. Langit kembali gelap, dan angin bertiup berserakan dari barat. Sesampai di sana langsung menuju tempat ia meletakkan kaligrafi ukirannya. Ia terkejut kaligrafinya tidak ada. Lalu dengan cepat ia menghampiri ayahnya.
“Pelanggan ayah memaksa membawanya Rif,” jelas ayahnya ketika tahu penjelasan Arief bahwa kaligrafi itu akan dikirim untuk seleksi lomba.
“Seharusnya ayah izin dulu!” kata Arief dengan mata berkaca-kaca.
“Ayah juga bingung Rif, kata pelanggan ayah karyamu ini akan membawamu ke masa depan yang cerah, ia memohon pada ayah dan ayah tidak bisa menolaknya.”
“Terus, bagaimana saya akan menjelaskan kepada guru Yah?”
“Baiklah ayah akan coba mencari pelanggan itu, dan besok ayah akan antarkan ukiran kaligrafi tersebut ke sekolah.”
“Kenapa tidak ditelepon saja Yah?”
“Sabarlah anakku, kalau ayah tahu pasti langsung ayah telepon, tapi pelanggan itu tidak memberikan kartu namanya.”
***
Saat jam istirahat ba’da sholat dzuhur di sekolah, Arief menyeret langkahnya dan bermaksud menjelaskan musibah yang ia alami kepada Pak Hasan. Ia pesimis karena ayahnya belum kunjung memberi kabar. Tiba-tiba di ambang pintu ia disambut senyum dan disalami Pak Hasan,
“Selamat Rif, karyamu lulus seleksi,”
“Maksud Bapak?”
“Kemarin, saya ke bengkel mebel ayahmu untuk memesan kursi jati. Kemudian saya melihat ada papan yang terukir kaligrafi di sana. Langsung saya kirim ke panitia lomba.”
“Jadi, yang mengambil itu Bapak? Subhanallah! saya baru saja ingin jelaskan ke Bapak bahwa kaligrafi saya kembali kena musibah di bengkel mebel ayah.”
“Astaqfirullah, Bapak juga minta maaf ya Rif, karena saat itu adalah deadline karya dikumpulkan, kemarin bapak salah memberikan informasi. Pasti kamu panik ya? Bapak minta maaf kalau lupa memberitahu ayahmu, kalau bapak ini gurumu.”
“Tapi, bagaimana Bapak tahu kalau itu ayah saya?”
“Siapa yang tidak kenal dengan ayah yang mahir mengukir kursi jati yang mempunyai anak yang juga tinggi nilai artistik seninya terhadap kaligrafi.”
Arief menyalami tangan pak Hasan dan berterima kasih. Ia bersyukur ternyata Allah tidak bermaksud mempersulit jalannya melainkan membalas dengan kebaikan atas kesabarannya mengapresiasikan kecintaannya akan seni kaligrafi Islam. Mengukir kaligrafi itu sebagai jalan agar Allah mengabulkan harapannya.
0 komentar: